Tuama Minsel

Tuama Minahasa Selatan

Selasa, 20 Januari 2009

Tanggapan atas pernyataan Gubernur Sarundajang sebelumnya KAIN BENTENAN: SIAPA JIPLAK SIAPA ?

(Oleh:Joutje Ariel Koapaha: Pemerhati Sejarah/Budaya Minahasa; Dosen UNIMA)

Membaca dan mencermati pernyataan Gubernur Sulawesi Utara, bapak Drs. S.H. Sarundajang di halaman depan harian surat kabar Komentar yang terbit Rabu (26/09/2007) dengan judul “Gubernur: Jangan Jiplak Tenunan Kain Bentenan” mengundang penulis untuk menanggapinya karena banyak hal-hal yang belum jelas dan membingungkan. Apalagi pernyataan Gubernur Sarundajang tersebut ditujuhkan kepada para pedagang kain atau siapa saja, yang bila melalukan tiruan atau jiplakan atas karya budaya kain tenun Bentenan, dapat dituntut secara hukum oleh Yayasan Karema. Bagi penulis pernyataan Gubernur dan klaim Yayasan Karema itu masih sangat kabur dan tidak mendasar. Sebab yang namanya kain tenun Bentenan asli, disitu melekat hampir semua etnik Minahasa yang ada sekarang dimana aspek historisnya belum ada kesepahaman dan kesepakatan diantara yang berkompeten. Bahkan hal ini sempat berkembang hangat dalam tanya-jawab peserta seminar sehari (namun tidak memperoleh jawaban yang jelas dan meyakinkan dari para Pemakalah dalam seminar tersebut) yang berlangsung pada 26 September 2007 di wisma Sofie, Bentenan Center Desa Kolongan Atas Sonder, Kabupaten Minahasa, dimana penulis turut aktif berpartisipasi sebagai peserta seminar tersebut. Bahkan ada seorang ibu yang mempertanyakan ”mengapa Bentenan Senter tidak dibangun di wilayah wanua Bentenan, Kecamatan Posumaen Kabupaten MITRA sekarang” ? Bagi penulis, Yayasan Karema hanya dapat menuntut mereka (atau siapa saja) yang meniru atau menjiplak hasil desain, karya, dan kreasi yang merupakan produk baru dari Yayasan Karema semata wayang. Karena yang namanya Kain Tenun Bentenan seperti Pinatikan Bantik, Kaiwu Patola, dan lain-lain itu telah dibuat dan sudah eksis sejak ratusan tahun bahkan berabad yang lalu, lantas kemudian hilang dari peredarannya sejak 200 tahun terakhir. Ibaratnya kain tenun Bentenan ini sama dengan ikan Si Raja Laut (Coelacanth sp) yang sudah dinyatakan punah/hilang lantas beberapa tahun terakhir ini diketemukan kembali di perairan sekitar pulau Sulawesi, bahkan dikawasan reklamasi Teluk Manado. Walaupun ikan tersebut diketemukan di laut Sulawesi oleh nelayan pantai Bahu dan oleh peneliti Jepang Cs, mereka tidak pernah mengklaim sebagai pemilik lesensi (apalagi otentik) atas ikan si Raja Laut tersebut.
Kemudian atas dasar konstruksi dan corak berbagai jenis kain tenun ini, pak Jessy Wenas lakukan jiplakan atau tiruan (bahkan mungkin kopian/printing) untuk kebutuhan produksi Yayasan Karema sekarang. Oleh sebab itu tulisan ini berjudul ”Siapa Jiplak Siapa” atau dengan kata lain, yang menjadi penjiplak (plagiator) kain tenun Bentenan yang dimaksud dengan pernyataan Bapak Gubernur itu sebetulnya siapa ? Sebab bagi Penulis, Yayasan Karema (termasuk juga leluhur yang membuat/memproduksi kain tenun Bentenan jenis Kaiwu Patola di tanah Malesung) juga berstatus sebagai plagiator atau penjiplak. Disisi lain, Penulis yakin bahwa jika Departemen Kehakiman dan HAM R.I (atau lembaga HAKI) telah eksis sebelum atau ketika (timing) dibuatnya dan diproduksinya kain tenun Bentenan Pinatikan Bantik dan Kaiwu Patola Cs, maka produk-produk ini (misalnya Pinatikan Bantik dan Kaiwu Patola) pasti telah memiliki Hak Cipta atau Hak Patennya. Sebab kita sama tahu bahwa yang namanya kain tenun Kaiwu Patola ternyata merupakan jiplakan dari kain sutra Patola India (sebagaimana klaim pak Jessy Wenas dalam makalahnya) dan baru eksis di tanah Malesung sesudah abad ke-14 (empat belas). Berbagai literatur menunjukkan, bahwa satu-satunya kain tenun Bentenan yang tidak dijiplak atau orsenil adalah jenis Pinatikan Bantik. Dimana ini berdasarkan hasil studi literatur asing pak Jessy Wenas. Simak pernyataan Yayasan Karema yang mengklaim bahwa kain tenun Bentenan yang pertama (mula-mula) dibuat dan eksis di tanah Malesung (cikal bakal Minahasa) adalah jenis Pinatikan Bantik. Dimana diperkirakan telah eksis jauh sebelum abad ke-12 (duabelas). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produk otentik (asli) dari kain tenun Bentenan yang dibuat oleh leluhur Minahasa adalah kain Bantik. Sehingga wajar kalau masyarakat Bantik Sulawesi Utara mendapatkan lesensi dari lembaga HAKI bukan saja untuk HAK Karyanya, tetapi HAK Ciptanya atau HAK Patennya. Sebab ini adalah fakta dan bukti peninggalan seni-budaya dan sejarah Minahasa yang harus diakui dan diterima oleh generasi penerus keminahasaan sekarang. Sehingga hal ini tidak harus dikaburkan atau diplintir untuk kepentingan sempit kelompok-kelompok tertentu dengan jalan membohongi sejarah–budaya leluhur Tou Minahasa. Olehnya Penulis merasa bingung dan terusik dengan pernyataan Gubernur Sarundajang pada pemberitaan harian Komentar diatas bahwa siapa saja yang menjiplak atau meniru kain tenun Bentenan dapat dituntut secara hukum oleh Yayasan Karema.
Melalui tulisan ini Penulis bertanya pada pak Gubernur Sarundajang, sbb: 1) Jika Penulis mendatangi Departemen HUKUM dan HAM R.I (lembaga HAKI) untuk mendaftarkan kain tenun Bentenan jenis Pinatikan Bantik sebagai Hak Cipta atau Hak Paten dari masyarakat Bantik atau dari Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara (MITRA), apakah Penulis dapat dituntut secara hukum oleh Yayasan Karema ? , 2) Jika Penulis melakukan printing atau membuat jiplak/tiruan atas kain Pinatikan Bantik atau kain Kaiwu Patola yang dengan asumsi berbeda dengan motif produk Yayasan Karema untuk kepentingan apa saja, apakah Penulis dapat dituntut secara hukum oleh Yayasan Karema ?
Bahkan berdasarkan hasil observasi pak Jessy Wenas dan klaim publikasi Yayasan Karema, ternyata tinggal tersisa 28 (dua puluh delapan) lembar kain tenun Bentenan asli di dunia yang tersimpan di Museum Jakarta, beberapa Museum Jerman (Frakfurd Am-Main, Dresden, Delf), dan Museum Belanda (Asterdam dan Rotterdam). Dari ke-28 lembar (helai) ini, ternyata 20 (dua puluh) lembar adalah jenis Pinatikan Bantik dan 8 (delapan) lembar adalah jenis Kaiwu Patola. Olehnya penulis hanya menggunakan ke-2 jenis kain tenun Bentenan ini sebagai contoh case dalam penanggapan ini. Sejak 1 (satu) tahun terakhir, penulis telah lakukan studi literatur dan observasi lapangan tentang keberadaan Kain Bentenan, dan follow-upnya telah membuat 2 (dua) makalah dan publikasinya dengan judul: Wanua Bentenan & Kain Bentenan dan Primus Interpares Ratahan dan Pasa’n. Setelah membaca dan mendalami makalah pak Jessy diatas, ternyata makin terbukti kesahian dari klaim dan publikasi Penulis sebelumnya. Penulis sangat berkeinginan untuk mengunjungi berbagai Museum Dunia {bukan saja yang terdapat di negara Jerman dan Belanda tetapi juga Penulis yakin ada terdapat di negera Spanyol dan Pertugal (Portugis)} dalam upaya melengkapi temuan dan publikasi tulisan terkait namun belum memiliki dana yang cukup. Setelah mengikuti seminar di Kolongan Atas Sonder, Penulis menemukan banyak hal baru, pencerahan, dan keyakinan yang semakin kokoh bertalian dengan klaim dan publikasi Penulis selama ini bahwa “Kain Bentenan Adalah Kain Bantik”.
Pada kesempatan ini Penulis berterima kasih dan sangat menghormati pak Jessy Wenas dan Yayasan Karema yang telah melakukan pelacakan dan penemuan tentang keberadaan kain tenun Bentenan di berbagai Museum Dunia dan melihatnya sebagai suatu “hidden treasure of the Minahasa’s ancestors” (bukan hidden treasure of Minahasa). Yang mana bukan hanya dari segi aspek substansi fisiknya tetapi juga dari segi referensi/literatur pendukungnya. Sebagai orangtua (bukan karena pak Jessy Wenas ternyata mewarisi darah/keturunan leluhur etnis yang sama dengan Penulis dimana hal ini diungkapkannya dihadapan odiens peserta seminar), Penulis begitu bangga dengan beliau karena banyak menemukan referensi baru (terutama literatur asing) dan berkesempatan mendalaminya sehingga memahami tentang keberadaan sesungguhnya dari leluhur Tou Minahasa pada jaman kuno. Sebagai seorang Budayawan Minahasa, kemampuannya menguasai bahasa Belanda dan bahasa asing lainnya, serta keuletannya untuk mau cari tau, terbukti telah tercermin dalam banyak hasil karyanya tentang sejarah dan seni-budaya keminahasaan. Untuk itu kita semua sebagai komponen generasi penerus Minahasa sekarang patut hargai dan acungkan jempol buat pak Jessy, yang ternyata leluhurnya (Kawenas) berasal dari wilayah Tombatu (sekarang).
Dari substansi makalah Pak Jessy dengan topik “Sejarah Kain Bentenan”, ternyata penulis temukan banyak hal baru tentang kain tenun Bentenan {termasuk referensi baru seperti: J.E Jasper: De Inlandsch Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie (1912), Ritta Boland: Weaving the Pinatikan (1977) dan S.Pangemanan: Kerajinan Orang Minahasa (1919)}. Dari ke-3 penulis (literatur) inilah, pak Jessy Wenas temukan gambar tenun kain Bentenan dan penggunaan nama bagian-bagian struktur tenunan serta penggunaan nama alat serta bahan baku dalam proses pembuatan (Mangalrimu atau Mangaiwu) kain tenun Bentenan. Yang ternyata, menggunakan Bahasa (Kata) Bantik. Sedangkan berdasarkan klaim seorang sastrawan/pujangga besar dunia “Dante”, menyatakan bahwa Bahasa Bantik adalah bahasa Tora Bantik yang tergolong bahasa kuno yang telah eksis sekitar 2000 (dua ribu) tahun lalu, bersamaan dengan eksistensi bahasa Jawa Kawi, dan bahasa Steppa Mongolia. Kita tahu bersama bahwa bahasa merupakan suatu kunci (sarana) yang sangat penting untuk mengenal dan memahami sejarah dan seni-budaya suatu etnik anak negeri yang menggunakan/memakai bahasa tersebut. Hal ini penting terkait dengan pemberian nama-nama jenis, nama bahan dan alat, dan bahkan bagian-bagian struktur tertentu dari kain tenun Bentenan yang ternyata menggunakan kata (bahasa) Bantik. Walaupun notabene sebagian besar telah disalah eja dan disalah cetak oleh penulisnya (sebab mungkin para penulis asing maupun penulis lokal tersebut tidak menguasai tatabahasa dan kosakata Bahasa Bantik). Tetapi walaupun penulisannya agak berbeda (sedikit menyimpang baik struktur kosakata dan tatabahasanya), tetapi kata-katanya tetap memberikan makna yang sama dalam artian bahasa Indonesianya.
Berikut ini penulis ketengahkan beberapa kata contoh (diambil dari makalah pak Jessy) yang merupakan pemberian nama atas jenis kain Bentenan (termasuk nama bagian bahan penyusun helainya) motif tertentu yang telah diproduksi dan dipublikasi oleh Yayasan Karema. Contoh kata kain “Pinatikan Bantik” yang merupakan latar belakang dan asal usul lahirnya pemberian nama Suku Bantik (sebagai suatu etnik sebutan baru) karena terjadi perubahan nama dari nama awalnya, yakni Puak Pondaigi. Ketika sekelompok besar leluhur masyarakat Bantik yang waktu itu tumani dan menempati Pontak (Minsel sekarang) yang pada jaman dahulu berada dalam kekuasaan kerajaan Bolaang Mongondouw (peristiwa detilnya dapat dibaca dalam makalah Penulis yang berjudul “Leluhur Tou Banti Adalah Leluhur Masyarakat Asli Bolaang Mongondouw”). Contoh kata kain jenis: Kaiwu Patola, yang menurut N.P. Wilken merupakan salah satu aset pernikahan leluhur masyarakat Bantik tempo dulu. Kain jenis ini juga dikenal oleh leluhur masyarakat Bantik sebagai Sukubu yang digunakan dalam pembagian waris keluarga dan juga dalam hal upacara adat peminangan dan perkawinan. Dimana juga melekat kata Kaiwu yang notabene berasal dari kata Bantik Kalrimu, yang artinya alat atau ramuan bahan untuk dijadikan sesuatu. Contoh kata kain jenis Tinonton Mata yang berasal dari kata Bantik “Tantaon Toumata” yang artinya bayangan gambar manusia (dalam bahasa Indonesianya). Contoh kata kain jenis Tinompak Kuda yang berasal dari kata Bantik “Tinopa’ Kabalro”, yang artinya berbentuk bekas telapak hentakan (Tinopa) kaki kuda (kuda petanda kaki). Contoh kata jenis kain Kokerah yang berasal dari kata Bantik “Kakeda” yang artinya merupakan benda yang memancarkan kilau/cahaya putih seperti kerlip manik-manik dan kunang-kunang. Contoh kata kain Koleh (atau jenis Sinoi) yang berasal dari kata Bantik ”Kolre” yang artinya alat penutup kelamin/kemaluan manusia (seperti Cawat). Contoh kata tenunan kain Pasolongan, yang berasal dari kata Bantik “Pasolroan” (dari akar kata Pasolro), yang merupakan alat berbentuk Pasolro (selinder) yang biasanya terbuat dari Timbalrang (bulu nasi jaha) kering dengan ukuran diameter lebih besar yang digunakan untuk menyimpan kapas yang telah dikeringkan.
Dalam menenun kain Bentenan, prinsip pokok adalah bagaimana menyusun (merajut) benang memanjang dan benang melintang yang telah diwarna-warni sehingga membentuk suatu motif gambar yang sesuai dengan rancangannya. Dengan mengutip buku S. Pangemanan, Pak Jessy menyebut benang memanjang ini disebut Waselene, yang ternyata berasal dari kata (bahasa) Bantik “Bahese Ne”, yang artinya posisi baris/alur yang memanjang. Sedangkan kata Sa’ Lange, berasal dari Kata Bantik “Sa’lrange”, yang artinya sesuatu (termasuk benang) yang disisipkan/diselipkan melintang diantara baris (benang) yang memanjang. Jadi walaupun pak Jessy Wenas mewarisi darah/keturunan etnis leluhur Minahasa {Kabenas-Dumais (marga ini berasal dari duo pimpinan leluhur etnis Tuominahasa Humaisi-Humopa yang sekarang diwariskan sebagai marg: Dumais dan Lumopa/Lumowa atau Rumopa bagi keturunan mereka)} yang sama dengan Penulis, tapi sayangnya beliau sudah tidak menguasai dan mendalami bahasa Tora Bantik. Sebab bila pak Jessy menguasai sejarah dan bahasa Tora Bantik tersebut, maka beliau tidak akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan penggunaan kata-kata dan arti yang terkait dengan pemberian nama dalam proses pembuatan motif kain tenun Bentenan asli.
Masih banyak hal yang penulis ingin ketengahkan bertalian dengan sejarah dan proses pembuatan kain tenun Bantenan asli, namun karena terbatas dengan ruang (dimana materi ini untuk tujuan publikasi koran lokal) maka lanjutannya (pasti lebih seru) dapat diikuti pada publikasi Penulis berikutnya dengan judul “Kain Bentenan Adalah Kain Bantik”. Termasuk penjelasan mengapa eksis kain motif Bentenan di pulau Timor dan perihal kedatangan keluarga Pangkey di tanah Minahasa yang menurut pak Jessy (dengan mengutip tulisan J.E. Jasper) keluarga ini berasal dari pulau Timur. Bahkan juga penjelasan para dotu leluhur Tou Minahasa seperti Pontomandolrang, Kumokomba (Komakombang atau Kombangen), Kalele Kinupit, Dewi Warangkiran (Balrangkidan) dan Sualrang Pinatandu atau Turing Ni Sualang) yang terkait dengan penggunaan kain tenun Bentenan dan ornamen tertentu dalam upacara-upacara adat leluhur Tou Minahasa pada jaman kuno. Termasuk penjelasan asal-usul para dotu tersebut, yang notabene mereka merupakan tokoh-tokoh dan pemimpin dalam ceritra legenda masyarakat Bantik. Mohon maaf kalau ada pihak-pihak tertentu yang merasa terusik atau kebakaran jenggot dalam pemaparan substansi artikel ini.

10 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

27 Januari 2009 pukul 21.58  
Anonymous Anonim mengatakan...

Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

28 Januari 2009 pukul 03.27  
Anonymous Anonim mengatakan...

"Sedangkan berdasarkan klaim seorang sastrawan/pujangga besar dunia “Dante”, menyatakan bahwa Bahasa Bantik adalah bahasa Tora Bantik yang tergolong bahasa kuno yang telah eksis sekitar 2000 (dua ribu) tahun lalu, bersamaan dengan eksistensi bahasa Jawa Kawi, dan bahasa Steppa Mongolia."

Otowey ...orekey .... mner Koapaha .... How come ? Dante ..pujangga Italia terkenal penulis "La Divina Comedia" itu meninggal sekitar thn 1321 ..... sedangkan kontak bangsa-bangsa Eropa dengan Nusantara baru ada sekitar 1519-1522 saat F. Magelhaens menemukan Filipana. Kong darimana re' karu tu Dante boleh tau tu bahasa Tota Bantik??

Heheheh .... mner Koapaha kalo ada referensi mengenai ini .. lebe bae dilampirkan ... jang orang orang kira mner so kase baku campur itu "keilmiahan" dengan "kabar angin" atau lebeh parah ... kase baku campur deng "angan-angan" jang sampe dorang bilang .... "Kage mner Koapaha somo bilang itu Adam deng Hawa deng Gajah Mada atau ... nanti itu Santiago dari Philipina or even Jenghis Khan... mner somo bilang orang Bantik.

31 Januari 2009 pukul 16.18  
Anonymous Anonim mengatakan...

Menanggapi pernyataan gubernur mengenai HAKI dari kain Bentenan saya rasa itu baik bila pernyataan tersebut ditujukan kepada daerah atau negara lain yang "mengaku" bahwa kain tersebut adalah hasil dari kebudayaan mereka (seperti dilakukan negara tetangga terhadap beberapa kesenian dan kebudayaan kita) tetapi bila dialamatkan kepada masyarakat minahasa atau Indonesia umumnya itu merupakan sesuatu yang tidak tepat,“hidden treasure of the Minahasa’s ancestors” siapapun yang merasa orang minahasa dapat saja memproduksi dan menjual kain tersebut... seperti Batik di Jawa... masing2 daerah di jawa mempunyai ciri khas corak sendiri yang dikembangkan dan dipopulerkan oleh mereka seperti batik semarangan dll. Bagaimana kain bentenan akan menjadi populer kalau hanya boleh diproduksi oleh lembaga/orang tertentu yang merasa telah bekerja dan menemukan kebudayaan yang hilang tersebut? Adalah menjadi tugas setiap orang minahasa untuk menggali akar budayanya dan menyebarkan kembali kepada masyarakatnya... Tugas utama dari Yayasan justru harus membina dan menyebarkan kepada masyarakat serta memotivasi mereka untuk terlibat memperkenalkan melalui karya nyata... Yayasan juga memberikan pengetahuan bagaimana mengembangkan corak-corak tersebut dipadukan dengan seni modern sehingga kain bentenan dapat berevolusi seperti halnya batik dan tenunan-tenunan dr daerah lainnya di Indonesia.. Jadi kesimpulannya adalah Kain dan corak Bentenan adalah milik Sulawesi Utara dan dijadikan suatu Identitas Karya asli daerah..Jangan saling menggugatlah...saling membangun.. Jangan berpikir ini adalah Bisnis murni.. Kreatifitas dalam mengembangkan desain dari desain dasar serta bagaimana menjualnya sehingga menjadi populer itu yang dapat dipatenkan dan digugat bila terjadi tindakan plagiat.. seperti kalau kita meng copy kain batik corak yg didesain oleh Iwan Tirta dan memakai brand Iwan Tirta.. Paten yang diajukan haruslah paten milik Sulawesi utara bukan suatu institusi dan dapat dimanfaatkan serta dikembangkan oleh siapapun..

20 Juli 2009 pukul 14.10  
Anonymous Anonim mengatakan...

ahu tow tondanou agrre hemange wai we watih.....h..hh...

5 Juni 2010 pukul 00.35  
Blogger onay.exe mengatakan...

minta foto-foto atraksi kabasaran dang kalu ada kirim pa kita pe blogg jo

10 September 2010 pukul 11.20  
Blogger Jonlytatz@yahoo.com mengatakan...

jiaaah bagimana kalo torang dapa clien,,,kong mo suruh tattoo model kaeng bentenan,,mo dapa panjarah,,,,,,?????

19 Januari 2012 pukul 13.02  
Blogger Unknown mengatakan...

APA ITOE KAIN BENTENAN ???
GA KENAL SAYA...
MUNGKIN TJUMA AMBIL NAMA BENTENAN SUPAYA BISA MEMBUAT BENTEN sory maksoednja BENTENG
BISNIS ?? ? ?? Ha ha ha ha ha ha...

4 Juli 2013 pukul 22.41  
Anonymous Anonim mengatakan...

Kerajinan Tenun sampe sekarang hanya ada dalam Budaya Masyarakat Sangihe yang terkenal dengan Bahan Kofo dari Serat Pohon Pisang, bisa tidak dibuktikan ada Budaya, Tata Cara, dan Alat Tenun bagi Masyarakat Bantik dan Minahasa saat ini? di Bentenan-Ratahan dulu banyak dihuni orang Sangihe.

26 Agustus 2013 pukul 16.23  
Anonymous Anonim mengatakan...

buat mner koapaha jang beking tersinggung orang bentenan neh..kase pernyataan yg maso akal...

9 Oktober 2013 pukul 23.13  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda