Tuama Minsel

Tuama Minahasa Selatan

Selasa, 23 Desember 2008

Tuhan masih memberi waktu

Sambutan Ketua Umum Panitia Festival Seni Budaya /Ketua sekaligus pendiri Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, yang direfleksikan melalui pembacaan puisi yang ditulisnya.

Tuhan masih memberi waktu
karya Benny J. Mamoto

Di tengah malam
aku duduk seorang diri
Di beranda rumahku di Tompaso sambil merenung.
hawa dingin menusuk tulang-tulangku
yang semakin menua.

Hujan gerimis jatuh di atap seng
menimbulkan bunyi gemericik riuh rendah.
Suara kodok dan jangkrik bersaut-sautan,
berpadu dalam keharmonisan malam.

Pikiranku menerawang jauh.
kesibukan kerja sehari-hari
membuat aku tidak punya waktu
untuk merefleksi diri.
Dalam perenunganku malam itu,
kudapati
ternyata selama ini aku hanya berpikir
tentang diriku sendiri.
aku hanya berharap orang lain
memperhatikanku,
menghargaiku,
menyanjungku,
memujiku….
Semuanya terarah padaku.


Tiba-tiba aku tersadar…..
mengapa aku jadi seperti itu.
Orang tuaku tidak mengajarkan seperti itu.
Alkitab tidak mengajarkan seperti itu.
Mengapa semakin jauh perjalananku
aku semakin jauh dari nasehat orang tuaku
dan ajaran agamaku.

Ya Bapa ampuni aku……
Aku tak layak disebut anak Mu.

Engkau Tuhanku mengajarkan aku
untuk melayani sesama,
membantu sesama,
menghargai sesama,
dan mengasihi sesama.
Engkau berikan teladan
bagaimana berkorban untuk sesama.

Aku coba mengingat..…
Apa yang pernah aku berikan kepada sesamaku,
Kapan aku memberikan perhatian
dan penghargaan atas orang-orang
yang pernah membantu aku….
Ternyata sangat sedikit.

Sayup sayup kudengar
alunan musik kolintang
dari pengeras suara desa tetangga kanonang.
begitu indah dan merdu.
aku menikmatinya.
aku hanyut dalam alunan lagu
o ina nikeke yang dimainkan.
Ketika musik kolintang berhenti,
kembali aku tersadar….
aku telah menikmati alunan kolintang,
tapi aku tidak tahu siapa yang menciptakannya,
siapa yang membuat alatnya….
oh sungguh naif….
aku terhibur olehnya,
tapi aku tidak mau tahu
siapa yang berjasa menciptakannya.

Aku juga teringat maengket yang begitu indah,
Musik bia yang begitu unik,
Kabela yang begitu menarik,
Musik Bambu yang begitu merdu,
demikian juga kabasaran, tari jajar, masamper…….
semuanya mengagumkan
dan aku menikmatinya.
namun, lagi-lagi aku tidak tahu siapa penciptanya,
siapa yang mengembangkannya
oh… aku jadi trenyuh .

Hujan gerimis semakin deras,
petir menyambar pohon kelapa di belakang rumahku.
aku terhentak
terpaku aku
denyut jantungku berdebar kencang.
Sadarlah aku
rupanya aku belum dipanggil Nya.
Tuhan masih beri aku waktu untuk hidup…..

Angin bertiup kencang…
hujanpun mulai reda.
kembali aku dalam ketenangan suasana hati.
kembali aku merenung,
Apa maksud Tuhan memberi aku waktu.
Saat itulah tiba-tiba muncul dalam pikiranku……
Aku harus segera melakukan sesuatu.
Aku harus merubah sikapku,
selagi Tuhan masih memberi waktu.
aku harus mengubah sikapku.
aku harus mengubah orientasiku.
aku harus melayani,
aku harus bisa menghargai sesamaku,
aku harus memberi diri untuk kemajuan daerahku…..
dan aku harus berbuat sesuatu untuk seni budaya
yang telah menghiburku.
Seni budaya yang telah menaruh andil
dalam membentuk karakter bangsaku.

Aku teringat SMS yang dikirim oleh temanku Odameng…
Dia ingin ketemu aku,
ingin menyampaikan sesuatu.
Oleh karena kesibukanku,
aku menunda pertemuanku dengan dia.
Keesokan harinya aku mendengar berita duka…
seperti disambar petir rasanya…..
temanku sudah dipanggil Sang Khalik
beberapa jam yang lalu.
perasaanku sedih, kalut, tidak karuan.
Ada rasa menyesal,
Basah kelopak ini,
mengapa aku menunda pertemuan itu.
Aku tidak tahu apa yang akan disampaikannya.
Semua menjadi misteri.
tapi aku dengar dari kerabatnya
bahwa dia punya ide
mementaskan festival songkok….
entah itu bercanda,
tapi ternyara dia memiliki ide yang ingin disampaikan.

Kembali aku tenggelam dalam kesedihan
bila mengingat satu persatu
pejuang-pejuang kebudayaan di panggil Sang Khalik
belum lama berselang aku kehilangan
Om Owik Ngantung, maestro Kabasaran
Sayang, aku belum sempat mendokumentasikan
karya-karyanya.

Hari semakin larut,
gerimis masih turun.
rasa kantuk semakin menggelayut.
sebelum masuk ke kamar tidur
aku sudah bertekad untuk mewujudkan niatku….
Aku ingin memberi sesuatu
kepada teman-temanku pendahuluku
sebagai wujud penghargaanku.
akan kuajak teman-temanku,
saudara-saudaraku warga Sulawesi Utara
untuk bersama-sama menundukkan kepala
memberi hormat dan penghargaan
kepada para pahlawan kebudayaan,
pejuang-pejuang kebudayaan Sulawesi Utara tercinta.

Hari yang indah ini,
dalam suasana kita menyongsong kelahiran
Sang Juruselamat kita,
Kuingin menyentuh dan menyapa
Saudara-saudaraku, Pahlawan Kebudayaan
dan Pejuang Kebudayaan bersama keluarganya.
Hai teman-temanku,
saudara-saudaraku,
Tuhan masih memberi waktu……
berbuatlah untuk Sulawesi Utara…
berbuatlah untuk bangsa kita tercinta Indonesia,
demi masa depan yang damai dan sejahtera.

Masuk dalam peraduanku…
Aku tertidur lelap.
Dalam mimpiku,
aku menyaksikan dimana-mana
anak-anak muda Sulawesi Utara
dengan sukacita memainkan kolintang,
menari maengket, mahamba bantik,
tari jajar, kabasaran,
memainkan musik bia,
musik bambu dengan merdu.

Oh betapa indahnya karunia Tuhan itu.
betapa kuatnya seni budaya itu eksis di tanah kelahirannya.
Semua orang mengakuinya.
tiba-tiba mimpiku terputus
karena kokok ayam jago bersuara keras
dibelakang kamar tidurku.

Aku bangun pagi,
hawa dingin masih menusuk.
aku melihat matahari pagi mulai muncul di ufuk timur.
aku teringat mimpiku yang indah itu……

Akankah mimpi itu menjadi kenyataan?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda