Tuama Minsel

Tuama Minahasa Selatan

Jumat, 19 Desember 2008

Malam Penganugerahan Seni Budaya Sulawesi Utara

Malam Penganugerahan Seni Budaya Sulawesi Utara
MCC, Senin Malam 15 Desember 2008.

Halaman parkir Gedung Manado Convention Center terisi penuh oleh mobil-mobil para undangan pada malam hari itu. Gerimis hujan berjatuhan namun cahaya lampu yang bersinar terang dari dalam gedung menghangatkan ratusan hadirin yang kebanyakan berlatar belakang seniman dan budayawan se-Sulawesi Utara tersebut. seniman, budayawan, pemerhati seni, peneliti seni, pelaku seni .... dari semua jenis seni dan budaya. Terlihat misalnya Titus Loho (Maestro Maengket Tombulu), Merdeka Gedoan (Budayawan) Yessy Wenas (Pencipta Lagu) Tedy Kumaat (seniman teater), Ibu Sus Sualang Pangemanan (Ketua Dewan Seni Budaya Sulut, Eric MF. Dajoh (wartawan senior/dedengkot teater) dan lain-lain.
Waktu menunjukkan pukul 18.00 Wita ketika acara penganugerahan mulai dipimpin langsung oleh DR. Ricardo Renwarin Pr, acara tersebut dibuka dengan Ibadah pra Natal bersama dengan diiringi musik kolintang Musika sakra Tomohon. Sesudah ibadah pra natal selesai para undangan disuguhkan dengan pentas Seni tari maengket, musik bambu, dan kabasaran dilanjutkan Pemberian Penghargaan kepada ke lima tokoh Seni dan Budaya Sulawesi Utara. Alm.Nelwan Katuuk, Hein Kaseke, Alm.Lodewyk Ngantung, Alm. Keryangan Odameng dan Bernard Ginupit adalah para seniman daerah yang mendapatkan penghargaan dari Insitut Seni Budaya Sulawesi Utara yang diserahkan oleh Dr. Benny J. Mamoto SH,Msi sebagai founder bersama istri tercinta. Hein Kaseke dan Bernard Ginupit menerima penghargaan secara langsung sedangkan para Almarhum diwakili oleh keluarganya masing-masing.
Acara pada malam itu juga menjadi Momentum pembubaran Festival seni Budaya Sulawesi Utara yang berganti nama menjadi Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Perlu diketahui bahwa Festival Seni Budaya Sulawesi Utara selama 20 bulan beraktivitas sudah menelorkan : 24 rekor MURI dan 49 agenda seni budaya.

Menurut DR. Benny Josua Mamoto, penggagas acara, tujuan penghargaan:
Selama ini apresiasi kepada seniman dan budayawan sangat minim. Memberi apresiasi kepada para pengabdi seni budaya ini tidak sekedar penghargaan atas karya dan pengabdian mereka semata tapi diharapkan akan menjadi daya dorong yang memberi mereka semangat untuk terus berkreasi demi lestarinya seni budaya Sulawesi Utara. Semoga langkah awal ini boleh menyentuh dan menggerakkan pihak-pihak lain yang peduli terhadap pengembangan dan pelestarian seni budaya untuk melakukan hal yang sama dalam mengapresiasi kerja keras dan jasa para seniman/budayawan. Sebab yang sekarang kita butuhkan adalah bukan hanya sekedar berjalan tetapi berlari cepat dalam pengembangan seni budaya Sulut. Jadi, sekarang yang dibutuhkan bukan sekedar bicara ataupun peduli saja tetapi sudah waktunya kita berbuat, bekerja!
Penghargaan ini tak berhenti disini saja, untuk itu kami memohon kepada pihak untuk memberikan bahan maupun data-data para seniman dan budayawan yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.


Sekilas Para Penerima Penghargaan Seni Budaya Sulut!
Bernard Ginupit
Nama Bernard Ginupit dalam komunitas seni budaya Tanah Totabuan, sudah sangat melekat dan kenal sebagai budayawan yang multi talenta. Dari tari, musik sampai sastra dilakoni tanpa mengenal lelah dari tahun 1948 ketika ia pertama kali mencipta lagu daerah Bolaang Mongondow. Semenjak itu berbagai karya seni budaya pria kelahiran Kopandakan 15 Agustus 1928, mengalir, antara lain; Pencipta Lagu Perjuangan tingkat Nasional terbaik, Menulis buku lagu-lagu Daerah Bolaang Mongondow dan diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, Tahun 1999 Lagu-lagu Daerah yang telah dicipta masuk dapur rekaman oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia di Jakarta. Menulis Kamus, Sejarah, dan Cerita Rakyat, Bolaang Mongondow. Mencipta Tari: Tari Monugal (Menanam Padi Ladang), Tari Mokoyut (Memetik Padi), Tari Pomamaan ( Makan sirih Pinang ), Sendra Tari Mokosambe (kisah 7 putri kayangan).
Jujur saya kaget, tersanjung dan sangat merasa dihargai atas dinominasi dan terpilih untuk mendapatkan penghargaan ini. Bagi saya momentum ini akan menjadi pendorong saya untuk terus berkarya disisa usiaku. Terima kasih pada Institut Seni Budaya Sulawesi Utara yang tidak hanya sekedar bicara maupun peduli tetapi telah berbuat nyata bagi pengembangan seni budaya Sulawesi Utara. Itu yang saya lihat dan rasakan.

Hein Kaseke

Tahun 1967 mulai melatih Musik Bambu dibeberapa tumpukan Musik Bambu di daerah Ratahan dan sekitarnya. Tahun 1980, penglihatannya tiba-tiba hilang. Tapi bukan berarti menyurutkanya untuk mendalami Musik Bambu. Kecintaaannya pada Musik Bambu makin menjadi-jadi. ”Mata buta bukan berarti akhir dari segala-gala. Saya makin terpacu. Saya percaya semua yang terjadi so diatur yang Kuasa,” kata pria kelahiran Tousuraya 10 Desember 1947 ini. Tahun 1983, untuk lebih fokus pada pengembangan Musik Bambu, ia meminta pensiun dini sebagai pegawai negeri yang dilakoninya sejak tahun 1965. Kini, hidupnya tiada hari tanpa Musik Bambu baik sebagai pelatih, pengrajin maupun mengaranger lagu. Dan dari tangan suami Elisabeth Punuhsingon ini sudah 5 (lima) album kaset yang ia keluarkan antara lain: Album Rohani Musik Bambu Klarinet dan album Musik Klarinet bersama tumpukan Harapan Taruna Jaya Pangu Ratahan.
Dengan adanya penghargaan ini, dunia seni budaya Sulawesi Utara mendapat gairah baru. Saya percaya dengan adanya penghargaan ini akan memacu para seniman untuk terus berkarya bukan karena ada penghargaan tetapi karena adanya perhatian dan apresiasi dari para peminat seni budaya khususnya Institut seni Budaya sulawesi Utara. Saya bersyukur adanya seorang Benny Mamoto yang datang bagaikan mata air di tengah gurun pasir, yang memberi dahaga bagi para seniman tua seperti saya. Ini adalah adalah hadiah istimewa di hari ulang tahun saya yang ke 62. Makase Tuhan Yesus.

Almarhun Lodewyk Dirk Ngantung
Bicara tentang Tari Kabasaran (Cakalele) di Sulawesi Utara, nampaknya kurang lengkap tanpa menyebut namanya. Om Owik begitu ia disapa. Nama lengkap pria kelahiran Tomohon 29 Juni 1929 ini adalah Lodewyk Dirk Ngantung. Ekspresi wajahnya ketika sedang beraksi Kabasaran banyak menghiasi media-media umum maupun pariwitasa dunia. Kartu Pos pariwisatapun, baik yang dicetak di Sulawesi Utara maupun di macan negara banyak yang mengabadikan wajahnya sebagai model. Memang Om Owik menjadi ikon pariwisata seni budaya. Sampai Tuhan memanggil pada 28 Oktober 2008, sudah tak terhitung berapa kali ia menjadi duta seni budaya khususnya Kabasaran, yang digelutinya sejak tahun1955.
”Penghargaan ini membuat keluarga kami merasa sangat terhormat. Saya tidak menyangka pengabdian almarhum pada Kabasaran diperhatikan. Peristiwa malam ini bagaikan mimpi,” tutur Pinaria Lolong, istri sang maestro Kabasaran. Memang setahu saya, selama hidupnya almarhum tak pernah diberikan penghargaan dari manapun, oleh siapapun. So ribuan kali kita pe suami selalu dipakai oleh pemerintah maupun swasta untuk menjemput tamu, baik turis maupun kepala negara. Atas nama keluarga besar Om Owik, kami mengucapkan terima kasih pada Bapak Benny Mamoto, yang semasa hidup dan ketika meninggal sangat memperhatikan keluarga kami.

Almarhum Nelwan Katuuk
Nama Almarhum Nelwan Katuuk, dalam jejak sejarah Musik Kolintang sudah begitu menyatu. Sebab boleh dikata dari tangan kreatifnya Musik Kolintang tercipta, yang ditandai dengan mengembangkan ensambel musik Kolintang dengan menetapkan nada-nada Chromatic dan Diatonik. Uniknya, Almarhum yang lahir di Desa Kauditan Minahasa Utara pada 30 Maret 1920, sejak lahir sudah tidak bisa melihat. Tapi walaupun buta namun Tuhan memberikan karunia lain yang begitu dasyat pada seni musik.
Dalam rekam jejak pengabdiannya, tercatat almarhum telah mengkreasikan Kolintang tradisional berupa orkes yang menggabungkan alat musik kolintang yang diciptakan dengan musik lainnya yang terdiri dari Kolintang Melodi, Gitar, Ukulele (Juk), String Bass tradisional. Juga dari tanganya sudah tercipta kurang lebih 20 lagu daerah.
Mewakili istri almarhum; Soesana Lasut, salah seorang puterinya Dra. Rachel H.E. Katuuk, mengungkapkan penghargaan yang diberikan Bapak Benny Mamoto melalui Institut Seni Budaya Sulut ini makin mempertegas bahwa Musik Kolintang milik Sulawesi Utara. Baginya, seni budaya tanpa perhatian tak akan berkembang. ”Perasaan kami keluarga tak bisa diungkapkan lagi dengan kata-kata. Yang pasti, kami terharu, walau Papa so nyanda ada tapi buah karyanya diperhatikan di daerah tempat lahirnya. Ini adalah penghargaan pertama dari Sulawesi Utara kepada almarhum. Sebab negara lewat penghargaan yang diberikan Presiden Soekarno pada 1963 mengakui almarhum adalah pencipta Musik Kolintang. Jadi penghargaan ini melengkapi pengakuan yang sudah ada atas karya-karya Almarhum namun peristiwa ini menjadi begitu istimewa karena penghargaan datang dari daerah tempat Almarhum lahir dan meninggal. Nelwan Katuuk dipanggil Sang Kuasa pada 26 Januari 1996.

Almarhum Keryangan Odameng
Ketika penjaringan penerima penghargaan namanya langsung menonjol terlebih di komunitas Masamper. Memang perjalananan aktivitas seni Almarhum Keryangan Odameng tak bisa dilepaskan dengan Masemper. ”Ia seorang seniman pekerja keras, apalagi kalau menyangkut perkembangan Masemper,” tutur Merdeka Gedoan, seniman serba bisa sahabat Almarhum, sambil menambahkan, pilihan Institut Seni Budaya memilih pria yang meninggal pada 25 Januari 2007 ini sebagai salah seorang penerima penghargaan, itu pilihan yang tepat dan almarhum sangat layak untuk mendapatkannya. Salah satu jasa pria kelahiran Manganitu 2 Desember 1956 dalam mengembangkan Masemper adalah inisiator menjadikan Masamper bisa dilombakan.
”Saya dan keluarga tak menyangka kalau jeri payah, pengabdian dan dedikasi suami saya pada Masemper masih diingat, dikenang dan dihargai. Jujur ketika mendapat kabar bahagia ini saya menangis. Terima kasih pada semua pihak terlebih kepada Bapak Benny Mamoto yang melihat, peduli dan mengapresiasi jasa-jasa Almarhum pada seni Masemper,” jelas Joice Sumigar, SPd.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda