Langit cerah tak berawan, ditengah lingkaran sejumlah penari terdapat seorang komandan tari yang berbadan bongsor, berukuran pendek, memakai helm usang terbuat dari tembaga lengkap dengan kepala burung yang telah diawetkan. Matanya melotot ke depan, ke arah lawan, dengan aroma membunuh sembari memegang tombak ia bergerak dengan gesit sesekali mengangkat tombak ke udara, menghibur para tamu yang terkagum-kagum melihat aksinya. Usia senja seakan tidak menjadi hambatan untuk tetap semangat menarikan Kabasaran, tarian perang rakyat Minahasa. Baju perang berwarna merah di lengkapi atribut tulang tengkorak yaki (Sejenis monyet khas Minahasa) digantung dilehernya. Tanpa mengenakan alas kaki sengatan sinar matahari yang panas menusuk kulit tidak dihiraukan, teriakan-teriakan "I Yayat U Santi" menghentak jantung para penonton yang menyaksikan memberikan decak kagum. Itulah sepenggal kenangan Saya ketika menyaksikan pertunjukan yang disajikan oleh alm. Om Owik beberapa bulan yang lalu. Namun kini Beliau telah berpulang ke hadirat Tuhan yang maha esa.
28 oktober 2008 hari Sumpah Pemuda bangsa Indonesia, hari itulah Om Owik menghebuskan nafas terakhir di RS Bethesda Tomohon. Lodwyk Dirk Ngantung atau Om Owik, telah tiada namun namanya hanya akan tetap dikenang oleh seniman-seniman daerah sebagai Maestro Kabasaran Minahasa. Minimnya honor yang dibayarkan kepada para seniman daerah tidak menyurutkan niat-Nya untuk tetap mengenalkan tarian Kabasaran sampai akhir hayat. Tarian perang suku Minahasa, suku bangsa Saya sendiri dan mungkin juga kalau Anda masih mengakui bahwa itu suku bangsa Anda juga, berhubung Minahasa telah memudar dari peradaban dunia. Faktor ekonomi saat ini membuat Saya sendiri melupakan kesenian asli Minahasa, bahasa daerah, dan dimana saya melihat umumnya parang diganti helm, yaitu para petani menjadi tukang ojek. Makin surutlah niat Saya untuk belajar Kesenian masyarakat Minahasa. Pada kenyataannya kesenian asli daerah hanya menjadi hobi dan hanya dikembangkan oleh segelintir masyarakat Minahasa. Berprofesi sebagai seniman tentunya sekarang ini merupakan pilihan hidup yang sulit dilihat dari penghasilan apalagi untuk menjadi seniman kelas daerah. Perlu perenungan sampai kiamat buat Saya sendiri sebagai pemuda Minahasa untuk membuat keputusan seperti Om Owik. Perasaan bangga dan penghargaan setinggi-tingginya patut Saya berikan untuk seorang Lodwyk Ngantung, penari sekaligus seniman Minahasa.
Dibalik rasa malu, ingin rasanya mengatakan bahwa pertujukan tarian Kabasaran lebih nikmat dibanding menyaksikan konser Kerispatih, naff, dan band-band muda lain. Apalagi band dari luar Negeri seperti Linkin park dan sejenisnya. Tapi sangat susah untuk mengakuinya karena akan mengundang hujatan dari teman-teman pemuda yang lain. Mereka yang setiap malam berbondong-bondong memenuhi sport cafe yang ada di kota Manado, rela merogoh kocek ratusan ribu rupiah sampai jutaan hanya untuk melihat sexy-sexy dancer. Dan akhirnya membuat mereka gengsi untuk menyaksikan kesenian dari daerah sendiri karena terkesan kolot dan jadul.
Sangat disayangkan, almarhum Lodwyk Ngantung belum sempat menceritakan segudang pengalamannya dalam goresan buku. Buku yang harusnya dapat di baca oleh generasi penerus Minahasa, buku yang harusnya berisi tutorial panduan tarian perang tersebut dan nantinya bisa membuat pemuda-pemuda seperti Saya untuk bisa belajar menarikan tarian Kabasaran. (*als)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda