SULUT-Suatu Rumpun yg mengikat-kuat nan Rukun
“Sulawesi Utara, Suatu Rumpun
yang Mengikat-kuat Nan Rukun”
Eric MF Dajoh
Keanekaragaman etnis di Sulawesi Utara, menghadirkan suku Bolaang dan Mongondow, Sangihe dan Talaud, serta Minahasa: beragam bahasa namun dalam rumpun dialek yang sama. Begitu juga kekayaan flora dan fauna. Di atas jazirah itu, tumbuh varietas vegetasi yang luas, dan dipenuhi pohon kelapa di sepanjang pantai, meluas hingga ratusan meter di atas permukaan laut. Di kawasan yang berbukit-bukit tumbuh tanaman cengkih yang menjadi salah satu sumber dana. Ada juga tanaman pala, sagu, aren dan berbagai buah-buahan, subur bertumbuh di berbagai kawasan. Kekayaan fauna yang memukau, seperti babi rusa, anoa, burung maleo, babi hutan, ular dan kera. Belum lagi kekayaan bawah lautnya. Sebut saja, Bunaken, Selat Lembeh, Likupang, kawasan Dua Sudara, Teluk Buyat, Ratatotok dan di berbagai tempat lainnya. Aneka biota laut yang menantang, surga bagi para diver dan pecinta snorkeling.
Laut, Misteri Allah
Betapa indahnya, laut. Setiap membicarakannya, yang terlintas adalah kekayaan biota laut yang tak terbilang. Kekayaan itu menjadi sebuah impresi, tonggak keberadaan kita, dan simbol kebanggaan.
Selain di Bunaken, keindahan juga merajut dirinya di Likupang, Selat Lembeh, kawasan Dua Sudara, Teluk Buyat dan Ratatotok. Keanekaragaman potensi kawasan di sini, pada gilirannya membuka sebuah peluang bagi pariwisata bahari. Belum lagi potensi perikanan yang menyebar di berbagai kawasan. Semua itu menyadarkan kita, betapa laut yang begitu indah dan kaya, adalah karunia Tuhan bagi Sulawesi Utara. Pasalnya, seberapa jauh kita memahami misteri Allah ini dengan sikap yang bertanggungjawab.
Memang tak ayal, godaan terbesar dalam mengolah laut adalah merancang keseimbangan pengelolaan antara keinginan melestarikan biota laut, dan memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat. Acapkali, keserakahan menguras hasil laut semata untuk kebutuhan ekonomi, merusak kesinambungan hidup biota laut. Karenanya, diperlukan pengelolaan yang bijak, agar tidak menjadikan anak-cucu menanggung kerugian di kemudian hari.
Mengedepankan sikap penuh syukur akan kekayaan bahari sebagai karunia Tuhan, adalah sikap arif. Sikap yang mampu meletakkan kesadaran dan kesungguhan untuk memahami kemisterian Allah. Di mana berbagai potensi, tidaklah sekadar menjadi kekayaan, tetapi juga pusat kehidupan: titipan Tuhan kepada anak-cucu. Seyogianya, tidak kita kangkangi dengan kegagahan, namun sebaliknya memeliharanya dengan kasih sayang.
Tanah, Berkat Tuhan
Tanah yang subur, adalah berkat Tuhan bagi Sulawesi Utara. Tanaman yang bermacam-macam, mulai dari kelapa, cengkeh, pala, sagu, aren dan buah-buahan, adalah asupan gizi Ilahi. Dalam bentangan punggung bumi, kita disajikan sawah ladang yang luas, padi-beras yang melimpah dan berbagai makanan pokok yang tak habis-habisnya bagi masyarakat Sulawesi Utara. Karena itu, bukanlah heran jika di berbagai daerah pegunungan, dijumpai lumbung-lumbung beras yang menghidupi hampir seluruh masyarakat Sulawesi Utara.
Ketersediaan pangan memang perlu diimbangi dengan etos kerja yang sanggup merawat keseimbangan dan kelestarian alam. Monokultur saja tak baik bagi sistem pertanian rakyat dalam membangun ekonomi yang kuat. Penggarapan lahan yang berkesinambungan dan bertanggungjawab, adalah pilihan dalam membangun sistem pertanian yang memastikan adanya perawatan tanah dan sumber air tanah secara alami, serta mengurangi kerusakan karena penggunaan pestisida yang berlebihan.
Kita sadar, betapa perkembangan teknologi rekayasa pangan, telah menghadapkan masyarakat pada pilihan: penggarapan pertanian secara organik atau non-organik. Pilihan-pilihan ini pada gilirannya harus dibangun di atas keinginan luhur melestarikan sawah dan ladang sebagai lahan hidup, bukan lahan garapan. Pola bertani yang arif, tidaklah sekadar memberi kita makanan, tetapi kuat dan sanggup bertahan dalam hidup.
Ketika kita bicara tentang sawah dan ladang, artinya kita tengah menggumuli hidup itu sendiri. Hidup yang berkelimpahan dalam syukur, sehingga pertanggungjawaban kita, adalah kesungguhan yang tulus untuk terus-menerus berdamai dengan tanah, sumber hidup anak-cucu kita. Karena tanah, bukanlah berkat yang sia-sia.
Hutan, Jantung Hidup Kita
Sulawesi Utara, adalah sekumpulan hutan primer dan sekunder yang memaparkan kekayaan yang tak terbandingkan. Betapa tidak, di atas gugusan hutan tropis malar hijau (tropical ever green forest), terhampar begitu banyak vegetasi. Ada hutan rawa dan bakau, hutan pantai, hutan pamah atau dataran rendah, hutan pegunungan bawah dan hutan gunung. Kekayaan makin dilengkapi pula dengan berbagai suku-suku pohon, seperti Moraceaae, Annonaceae dan Eurphobioceae.
Di atas jazirah utara pulau Celebes, terdapat delapan kawasan cagar alam, yaitu Cagar Alam Gunung Tongkoko – Dua Saudara, Cagar Alam Gunung Lokon, Cagar Alam Gunung Ambang, Suaka Margasatwa Manembonembo, Suaka Margasatwa Karangkelong Utara, Suaka Margasatwa Karngkelong Selatan, dan Taman Nasional Bunaken.
Dan di dalam belantara-belantara itu, hidup beragam satwa liar sebagai satwa endemik. Ada golongan mamalia, seperti monyet hitam, yaki, kuskus, beruang, tangkasi, musang Sulawesi, babirusa, anoa pamah, anoa gunung, kalong Talaud dan duyung. Ditambah lagi dengan ratusan jenis burung endemik Sulawesi, seperti maleo, rangkong, burung hantu gunung, burung hantu punggok oker, sikatan matinan, sampiri dan sebagainya.
Kawasan konservasi dengan ragam vegetasi, memaparkan hutan-hutan bak surga bagi flora dan fauna. Di situ mereka bertumbuh, bertarung untuk hidup dan merawat kehidupan yang berkelanjutan secara unik. Hutan-hutan itu diciptakan bagaikan jantung bagi kehidupan, yang mengatur keseimbangan curah hujan bagi kesuburan lahan pertanian dan perkebunan. Pada hutan-hutan inilah kita menaruh harapan terjaganya ekosistem antara dataran tinggi dan dataran rendah.
Dan apa yang kita pahami sebagai jantung hidup Sulawesi Utara itu, sekali lagi menyadarkan kita, betapa dahsyatnya kasih sayang Tuhan bagi kehidupan ini. Anugerah hutan yang kita peroleh, sudah sepantasnya patut dirawat dengan hikmat Ilahi. Tidak sekadar diolah, tetapi juga patut dilestarikan sebagai ujud iman yang nyata.
Budaya, Spirit Hidup
Dari beragam etnis, muncul kekayaan budaya, nilai-nilai adat dan tradisi, serta kekayaan alat komunikasi massal, yaitu bahasa. Nilai-nilai adat dan tradisi yang kaya, merupakan kekayaan kebudayaan yang tak terhingga di Sulawesi Utara. Sekalipun nyaris dirusak pada zaman penjajahan, tetapi akar-akar kebudayaan itu terus bertumbuh dari Bolaang-Mongondow, Minahasa hingga ke Kepulauan Sangihe dan Talaud. Hingga kini, kesenian-kesenian tradisi, baik musik, tari, sastra, seni rupa dan teater, tumbuh dalam rumpun-rumpun masyarakat yang mengikat nan rukun. Banyak bahasa daerah yang hingga kini tetap bertumbuh di Sulawesi Utara. Bahasa Mongondow, bahasa Sangihe, bahasa Talaud, bahasa Siau, bahasa Tonsea, bahasa Tombulu, bahasa Tolour, bahasa Tountemboan, bahasa Bantik, dan masih banyak lagi yang lain. Beragamnya bahasa menunjukkan perkembangan kebudayaan yang signifikan. Sebagai pendukung kebudayaan, bahasa hingga kini mengekspresikan nilai-nilai hidup masyarakat.
Hidup, Ujud Iman yang Indah
Akhirnya, keanekaragaman yang dimiliki Sulawesi Utara, menghantarkan kita pada catatan-catatan reflektif tentang makna hidup. Sudut pandang kita tentang hidup sebagai manusia Sulawesi Utara pada gilirannya membuka wacana, betapa berartinya hidup bagi masyarakat Sulawesi Utara.
Apa yang kita jumpai sebagai keanekaragaman hayati dan kebudayaan, menunjukkan adanya keterkaitan antara alam, manusia dan Tuhan. Karunia alam raya yang diciptakan Tuhan, mendorong kita pada hakikat kesadaran: memberi diri yang sungguh bagi pengelolan dan pemeliharaan lingkungan secara bijak bestari.
Kita disadarkan, betapa di dalam kebersamaan hidup ini, ada banyak hal yang sudah Tuhan anugerahkan. Di tengah-tengah realitas kemiskinan dan kemajemukan yang menjadi ciri dasar masyarakat Asia, kita adalah masyarakat bangsa yang diberkati.
Hampir-hampir jarang kita mendengar adanya ancaman kemiskinan yang dapat mengurangi kualitas hidup masyarakat, di Provinsi Sulawesi Utara. Dalam tatanan mikrokosmos dan makrokosmos, kita setidaknya mampu menjaga keseimbangan alam. Ketersediaan pangan, sandang dan papan yang diambil dari kekayaan sumber daya alam, menginsyafkan kita akan kekayaan yang kita miliki. Lautan, bukan hanya indah, tetapi kaya dengan protein yang bermanfaat bagi kehidupan, memperlihatkan betapa beruntungnya kita. Hutan tropis yang dipenuhi vegetasi, flora dan fauna, selamanya memberikan kita kepastian hidup.
Pengalaman bersama di tengah masyarakat majemuk, mengajar kita untuk memiliki cara pandang sebagai sesama saudara sebangsa. Kita menghidupi kemajemukan bukan atas dasar perbedaan, tetapi persamaan yang memberi kita selalu bersukacita. Kita mampu merekatkan semua perbedaan dengan keterbukaan, dan kedewasaan bermasyarakat.
Menguatnya fundamentalisme pasar yang mungkin saja mengancam hidup sejahtera bersama, tidak mesti menjadi hari-hari gelap kita. Karena di dalam pemahaman kita, perdagangan bebas pada satu sisi dapat membawa pertumbuhan ekonomi, tetapi di lain sisi tanpa adanya prinsip keseimbangan dan kesejahteraan untuk semua, maka bayang-bayang kemiskinan akan menjadi hantu di siang bolong.
Pun ketika kita juga mesti berhadapan dengan fundamentalisme agama-agama, yang lama-kelamaan dapat mereduksi nilai positif dari kemajemukan sebagai keniscayaan. Seakan hidup bersama dalam pluralitas agama adalah aib dan dapat mengancam kehidupan. Pada realitas ini, kita berhadapan dengan kerawanan sosial menuju massal chaos, jika tidak kita tata bersama.
Akhirnya, tak mesti dielakkan untuk menyebutkan bahwa tanggung-jawab yang harus dihadapi dalam suasana gumul masyarakat masa kini, adalah seberapa mampunya kita “memelihara Sulawesi Utara, sebagai kerukunan yang mengikat-kuat; saling memberi dan saling melengkapi.”
Mengukuhkannya dari ancaman fundamentalisme pasar yang dapat merontokkan sendi-sendi perekonomian rakyat. Menjauhkannya dari bayang-bayang fundamentalisme agama-agama yang cepat atau lambat, bisa meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan masyarakatnya yang mengikat-kuat nan rukun!
Dan, ketika sikap ini kita abadikan sebagai paradigma baru masyarakat kita, maka akan muncul pergerakan baru untuk memandang dengan lebih luas bentangan wahana kekayaan Sulawesi Utara, sebagai kekayaan alam raya yang diberkati untuk memelihara persaudaraan. Dan kita akan membentangkan panji-panji itu sebagai sikap syukur kepada Tuhan, jauh dari kegagahan dan keangkuhan diri. Kebangkitan kita, adalah demi kesejahteraan bersama dalam persaudaraan yang sejati. Sikap ini, akhirnya akan memberi nilai lebih bagi kehidupan bersama. Kita mewariskan sebuah ketegasan sikap, menjadikan Sulawesi Utara wahana kehidupan yang saling menghidupkan: saling percaya, saling menghormati, dan saling mengasihi dalam merawat kehidupan ciptaan Allah.
Kepada kita terpulang sebuah penghayatan dan penghormatan kepada leluhur. Penghormatan kepada para pendahulu, yang terlebih dulu menghargai kehidupan bersama di atas tanah jazirah utara ini. Inilah penghayatan hidup bersama. Kesediaan bersama untuk memandang Sulawesi Utara secara spiritual. Menghayatinya bukan sebagai keputusan politik, tetapi keputusan spiritual. Karena, apa yang tergelar di atas tanah subur Sulawesi Utara ini, adalah milik Tuhan! (***)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda