Tuama Minsel

Tuama Minahasa Selatan

Rabu, 19 November 2008

Komentar terhadap Inskripsi Guratan Batu Pinabetengan

Beberapa bulan yang lalu ( 24 Juli 08' ) artikel pak Jessy Wenas, tertanggal 18 Juli dengan judul ”Inskripsi guratan gambar batu Pinabetengan”, dibawa kepadaku langsung oleh Pak Jessy Wenas dan pak Joutje. Pada waktu itu pak Jessy memberikan komentar : ” Ini tulisan budayawan yang pasti berbeda dengan seorang Ilmuwan. Angan-angan budayawan bisa mengembara ke sana-sini ”. Dan memang benar, membaca tulisan ini memaksa otak Saya untuk ikut menelusuri pengembaraan angan-angan pak Jessy, sampai akhirnya Saya pusing kepala, belum sampai tujuh keliling.
Dan Saya bertanya-tanya mengapa sampai kepala Saya menjadi pusing?. Bisa jadi karena apa yang Saya harapkan dari judul artikel ini tidak dapat kutemukan kejelasannya sampai pada akhir makalah ini ( kalau bisa disebut ’makalah’ atau lebih tepat ’guratan’). Memang cara pendekatan dalam hal mengolah budaya dari pak Jessy dan Saya sangat berbeda, walaupun keduanya berusaha membuat dua kegiatan yaitu :
a) Membuat REKONSTRUKSI dari penggalan-penggalan data yang sudah tersurat dan yang baru ditemukan.
b) Membuat INTERPRETASI terhadap hasil rekonstruksi agar semua data ini bisa masuk akal.
Rekonstruksi dan Interpretasi ala Jessy Wenas ini sangat mirip dengan pola yang dipakai oleh para penulis Minahasa tempo dulu seperti J.A Worotikan (1931), H.M Taulu(1950-1980 an). F.S Watuseke (1960-1980 an). Gaya bahasa dan alur pikirnya pun cenderung sejajar. Mereka memang membaca bahasa Belanda dan mengenal beberapa buku tulisan para Zendeling, seperti J.G.F Riedel, dan J.A.T Schwarz, serta N.Graafland, ditambah pula dengan pengetahuan tentang salah satu bahasa lokal. Tidak dibuat penelitian mandiri mengenai kondisi hidup dan budaya Minahasa semasa, dan berdasarkan cuplikan-cuplikan kisah mitologis dari teks para Zendeling ini mereka membuat rekonstruksi ’quasi’ sejarah dan budaya Minahasa. Data kisah mitologis ini diterima begitu saja sebagai benar (taken for granted) dan didaur ulang berdasarkan interpretasi dan angan-angan mereka yang melompat ke sana ke mari.
Khususnya mengenai Batu Pinabetengan, Jessy Wenas mulai dengan cuplikan dari Riedel yang tertulis dalam bahasa Tombulu pada tahun 1870, sedangkan teks Melayu tuanya sebenarnya sudah terbit tahun 1862 dengan judul, ’pada manjatakan...’.
Demikian pula Riedel dalam ’ a’asaren tu’ah.. ’ ini tidak mengklaim bahwa To’ar merupakan leluhur kelompok etnis Tombulu, Karema untuk Tonsea, ataupun Lumimu’ut untuk Tontemboan: interpretasi ini dibuat hanya oleh J.A Worotikan pada tahun 1931 (’Greschiedenis uit der sagen en mythen der Minahsa’). Mungkin akses untuk tulisan – tulisan dari F.S.A. de Clerc, yang sangat banyak juga, tidak ada, sehingga pembandingan ritual di batu Pinabetengan: ada pula seorang penulis Minahasa, yang menyandang nama Natetomalesa (tanpa datum), yang mencoba membuat rekonstruksi ritual pembagian di Pinabetengan ini. Begitu pula cuplikan mengenai silsilah dari ’Rotinsulu’ yang katanya sampai 29 generasi ke atas itu, sama sekali tidak tercantum dalam buku ’ Uit onze Kolonien’ dari van Kol, karena dia hanya menulis tentang kondisi pemerintahan semasa: satu-satunya silsilah yang pernah ditulis, terdapat di buku N.Gaafland, ’ Minahasa ’ (1889), yang mengutip kisah dari N. Wilken di Tomohon.
Angan-angan mengenai Karema-Lumimuut-Toar, yang berasal dari J.A Worotikan ini, kemudian dikaitkan dengan peristiwa pembagian wilayah Batu Pinabetengan, sehigga terkesan bahwa ketiga mereka ini turut hadir dalam peristiwa ini dan karenanya figur-figur mereka tergores di batu ini. Yang Saya tahu dari tulisan Riedel, yang dipakai dalam makalah Wenas ini, tidak disebutkan bahwa ketiga sosok primogenitur ini berhubungan dengan Batu Pinabetengan, karena mereka berada di bahasa yang di pakai dalam ritus tona’as kampetan, terbagi dalam tiga bagian yang terpisah dan yang coba diceritakan sebagai sejarah yang unilinear. Kisah batu Pinabetengan terdapat pada bagian ke dua dan ke tiga (sebelum masuknya orang Eropa ). Seperti kebanyakan penulis Minahasa yang mendaur ulang, begitu pun Jessy Wenas tidak membedakan dua kisah pertemuan di batu Pinabetengan.
Sejalan dengan J.A. Worotikan yang mencoba mereka-reka waktu prasejarah Minahasa yang ditempatkan dalam sejarah Kekristenan perdana, demikian juga Jessy Wenas berangan-angan tentang kondisi abad ke-7 sampai 15 Masehi, malahan sampai mengaku bahwa bangsa Minahasa sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu, sambil menyetir tulisan dari Peter Bellwood hanya menegaskan bahwa artefak-artefak yang ditemukan di Minahasa berasal dari masa dinasti Ming (tahun 1368-1644)
Interpretasi mengenai ketiga primogenitur Minahasa yang dikatikan dengan pantheon (dewa-dewi segala) dan zodiak Minahasa (versi 1884 dari Tanawangko), sayangnya tidak didukung oleh hasil analisa dari Kurt Tauchmann, yang menulis disertasinya pada tahun1968 dengan judul ’Die Religionen der Minahasa-Stamme’. Sejauh saya temukan dalam penelitian saya sejak tahun 1970-an sampai kini, ketiga sosok primogenitur ini (Karema-Lumimuut-Toar) hampir tidak pernah muncul dalam ritual-ritual pada tonaas kampetan era 1970-80-an, tetapi baru pada aknir dasawarsa 1980-an, saat pemerintah Indonesia mulai gencar mewacanakan ’budaya’ Indonesia dengan mencarikan identitas nasional, barulah perhatian politis di Minahasa diarahkan pada leluhur ini, seperti nyata dalam julukan ’ Bumi Toar – Lumimuut’. Dan ke tiga tokoh ini baru muncul lagi dalam doa-doa ritual agama asli pada era 1990-an.
Sejajar dengan tulisan H.M.Taulu, Jessy Wenas pun mencoba membuat interpretasi mengenai guratan di Batu Pinabetengan ini tanpa menjelaskan berapa banyak guratan, berapa banyak motif yang ada, bagaimana melihat keseluruhan guratan itu : entakah ini suatu peta tradisional Minahasa? Apa saja yang ingin dijelaskan oleh guratan-guratan ini? Apakah makna lipan (kaki saribu) menjept padi (kan sangat aneh?) Sayangnya, foto yang di ambil hanyalah dari tahun 1905 yang sudah di fotokopi beberapa kali: mengapa tidak ada foto dari tahun 2008? Dan mengapa tidak dibuat pembandingan dengan guratan-guratan di pelbagai batu bergambar yang tersebar di banyak tempat di Minahasa?. Contohnya di desa Kali, Pineleng, ada batu ’pinantik’ dengan pelbagai guratan: Saya sudah mengambil fotonya, tetapi belum berani dan sempat untuk menganlisanya lebih jauh karena rasanya data hanya dari kedua batu ini masih terlalu miskin.
Akhir kata, dari kacamata Saya seorang peneliti untuk Minahasa, Saya mengharigai usaha untuk berangan-angan dan menulis tetang guratan Batu Pinabetengan ini, tetapi belum banyak memberikan penjelasan, dan masih dalam kondisi ’non-sense’. Semoga masih banyak ulasan kritis lain yang bisa menjelaskan atau ’make sense’, Insya Allah.


Paul Richard Renwarin,
Lahir di Tomohon pada tanggal 7 Januari 1955. Setelah menyelesaikan program Sarjana Filsafat di STF-Seminari Pineleng pada tahun 1974, beliau melanjutkan studi S2 program studi Antropologi di Universitas Leiden Negeri Belanda pada tahun 1987, tanggal 26 Juni Tahun 2006 beliau menyelesaikan S3 pada program yang sama di perguruan Tinggi yang sama pula. Beliau sebagai Dosen Antropologi di sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.

Sabtu, 15 November 2008

NAMA - NAMA PEMAIN KOLINTANG MASSAL 2 AGUSTUS 2007








NAM
A - NAMA PEMAIN
KOLINTANG MASSAL

Manado Convention Centre - SULUT
02 Agustus 2007

NO NAMA PESERTA NAMA GRUP DAERAH KETERANGAN
1 Drs. Verry Adam Matuari Tanawangko (Tombariri)
2 Hendrik Madelu
3 Ronny Mende
4 Ventje Kandow
5 Hanny Kaunang
6 Yunus Gosal
7 Ridchard Thomas

8 Verry Posumah Kauneran Tanawangko (Tombariri)
9 Johan Runtu
10 Wem Terok
11 Ruddy Lemoh
12 Joppy Lemoh
13 Hendrik Mahtiri
14 Bud Karundeng

15 Ronny Kalalo Xylofon Tanawangko (Tombariri)
16 Jonny R. Thomas
17 Johny Pongoh
18 Johan Runtu Thomas
19 Hendrikus R. Thomas
20 S. Mantiri
21 Elly Mantiri

22 Bong Sampul Nada Satria Lomoh (Tombariri)
23 Albert R. Thomas
24 Jermias Adam
25 Elly Thomas
26 Dolvie Sambow
27 Bastian Adam
28 Wem Pangkey

29 Iskandar Zulkarnain DIS-BUD-PAR Sulut
30 Nico Somboadile
31 Toni Mandak
32 Arnold Runtukahu
33 Danny Wahongan
34 James Mononutu
35 Abner Mamole
36 markus Siwalete
37 Matheos Tomas
38 Sri Astuti
39 Marla Tiwow

40 Darius Regar Esa Mandiri Kembes Satu
41 Fekky Pontororing
42 Adry Dolang
43 Samuel Mailangkay
44 Hendrik Pontororing
45 Felix Aring
46 Jermias Walujan
47 Jacob Ponto

48 Robert Rumimper Unisono (Rumengkor)
49 Roy Udung
50 Hendrik Udung
51 Efradus Pondaag
52 Fery Pangemanan
53 Lumi Mokodongan
54 Yoel Pondaag
55 Agus Oroh
56 Alber Pangemanan
57 Boby Warow
58 Robert Pondaag
59 Jon Pondaag
60 Ricky Rumimper

61 Jan Moningka Kalvari (Suluan Suluan)
62 Daud Rumondor
63 Johan Wori
64 Adri Wori
65 Isak Wori
66 Salmon Wori
67 Noldy Pamamuntuan
68 Sony Koloay
69 Viking Wori

70 Ferry Rengku Nada Tombulu (Kembes Satu)
71 Darius Regar
72 Richard Sigarlaki
73 Jan Datu
74 Julius Rengku
75 Franky Mamuaja
76 Reddy Kindangen
77 Melky Karundeng
78 Ferry Pangemanan
79 Albert Welan
80 Novie Pontororing
81 Jhony Tania
82 Maxi Kaunang
83 Pitoy Lengkong

84 Frans Repi Pangolombian (Tomohon)
85 Herry Losu
86 Leopol Undap
87 Ferdinan Kalesun
88 Fen Repi
89 Miske Pongoh
90 Sem Pongoh

91 George Kaeng Matuari Matani (Tomohon)
92 Yantje Kaeng
93 Robi Uno
94 Yantje Rumangkang
95 Wempi Mongan
96 Jemi Rambitan
97 Lexi Rumagit
98 Mantje Kaeng
99 Maxi Rapar
100 Jemi Pitoy
101 James Watulangkow

102 Arie Pantouw (KALI)
103 Wilhelmus Tangkere
104 Imanuel Wongkar
105 Fanny Mamuaya
106 Fanny Lumansik
107 Kiki Lumansik
108 Joi Wongkar
109 Jack Lumansik
110 Jhon Kaligis
111 Alfrits Kaligis
112 Ben Parengkuan
113 Ose Parengkuan
114 Denan Wongkar
115 Petrus Wongkar
116 Welly Tombiling
117 Donny Pinontoan
118 Aldy Tangkere
119 Ade Wongkar
120 Karel Warow
121 Karlos Wongkar
122 Hery Paat
123 Ed Wongkar
124 Adri Wongkar
125 Muel Wongkar
126 Alex Tangkuman
127 Bertje Mathindas
128 Ance Kaunang
129 Yantje Wongkar
130 Frans Tangkere
131 Demmy Wongkar
132 Rama Wowor Nazaret Orphanage
133 Silvera Rapar
134 Arther Sanggamele
135 Veki Takasuniang
136 Jeine Damongilala
137 Sulfiana Takasuniang
138 Rhein Bawekes

139 Jemy Tumimomor (Remboken)
140 Herry Kaloh
141 Tomy Limpele
142 Riki Limpele
143 Ven Kaloh
144 Donald Kussoy
145 Roby Kumontoy
146 Yano Malingkas
147 Denny Manurip
148 Boy Dumais Bitung
149 Antje Nangaro
150 Kores Bawias
151 Benny Untu
152 Ferdy Silimang
153 Yoseph Untu
154 Raymond Katuuk
155 Michael Dotulong
156 Johny Makahinda
157 Sonny Runtu
158 Novly Gorap
159 Garry Ulag
160 Yus Malaganda
161 Putra Dumais
162 Septiano Gugurati
163 Hans Wakary
164 Jacklyn Lungkang
165 Tiffany Puha
166 Merlien Supit
167 Tirsa Lumewang
168 Mercy Suouth
169 Ian Natang
170 Gabriela Tumengkol
171 Fedora Miyra Rambing
172 Angelia Ngantung
173 Anggia Palit
174 Ayu Walansendouw
175 Like Pukaranda
176 Angelina Kaurow
177 Astrid Rooroh
178 Carolina Hutapea
179 Danny Cristianto

180 Eduard Wongkar (Agotey)
181 Jefri Tiwow
182 Arie Sulu
183 Freddi Watulangkow
184 Ernest Tulung
185 Yorri Sulu
186 Cornelius Moningka
187 Edison Tulung
188 Manuel Mengko
189 Lodewyk Tulung
190 Noldy Tulung
191 Lucky Tiwow
192 Niko Tires
193 Maykel Tires
194 Jacob Sulu
195 Ferdy Sompotan

196 Eddy Tarandung Nada Ria (Kinilow I)
197 Yutje Pusung
198 Nontje Tarandung
199 Markus Warongan
200 Phillep Polakitan
201 Arnold
202 Piet Runtulalo
203 Bani Pantouw
204 Nani Mathindas
205 Erik Musak

206 Petrus D. Rarun Saluhesom (Kembes)
207 Yos Runtuwene
208 Robby Wowor
209 Yohanis Pantow
210 Ny. Rarun - Moa
211 Adni Wentuk
212 Yani Rasu
213 Ony Tabobo
214 Bonny Runtuwene Linow
215 Benny Regar
216 Yohanis Kapele
217 Andreas Undap
218 Agustin Kapele
219 Yusof Tulung
220 Victor Waluyan
221 Theodorus Kaunang Union
222 Fiany Runtuwene
223 Alo Kapele
224 Yohanis Tania
225 Rio Runtuwene
226 Salom Rambi
227 Petrus Rata'ag
228 Luddy Wulur
229 Nico D. Songkiling
230 Johanis Mandagi
231 Hans Untu
232 Adri Untu
233 Elia Tooy
234 Novie Luntungan
235 Herman Kambey
236 Denny Wenas
237 Herman Sundah
238 Joseph Sundah
239 Fransiskus Rorah
240 Maxi Luntungan
241 Buang Tampa
242 Poultje Sundah
243 Refli Sambuaga
244 Dombo Tampa
245 Berti Sambuaga
246 Steve Tuwaidan
247 Alex Poluan
248 Naula Sangian



KOLINTANG RAKSASA

SPESIFIKASI : PANJANG : 8 METER

LEBAR : 2,5 METER

TINGGI : 2 METER

BERAT : 3.168 KG

BAHAN : KAYU CEMPAKA (TA’AS)

VOLUME BAHAN : 13,7 METER KUBIK

PEMRAKARSA : BENNY J. MAMOTO

(KETUA UMUM PANITIA FESTIVAL SENI BUDAYA SULAWESI

UTARA 2007)

DIBUAT OLEH : BENGKEL ALAT MUSIK MINAHASA

”MA’ZANI MUSIC” TOMOHON

MANAGER : JOUDY Dj. ARAY

PENGRAJIN :

1. Maxi Amalius (Kepala Tukang)

2. Benedictus Aray

3. Jory Klaas

4. Didi Polakitan

5. Jonly

6. Frangky Runtu

7. Sonny Sangi

8. Herri Runtu

9. Jely

10. Adrie Mangelep

11. Albert Tular

DIKERJAKAN SELAMA 15 (LIMA BELAS) HARI KERJA

Jumat, 14 November 2008

LPK CYRUS PAULUS




Berdiri pada tang
gal 27 Agustus 2005 LPK Cyrus Paulus yang beralamatkan di Jl.Trans Sulawesi Tumpaan kecamatan Tumpaan Kabupaten Minsel, diresminkan langsung oleh Bapak Bupati Minahasa Selatan yaitu Drs. Ramoy Markus Luntungan dan dihadiri juga oleh Bapak Gubernur Sulawesi Utara yaitu Bapak Sinyo Hari Sarundajang.Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir telah mengabdikan diri untuk masyrakat Minahasa Selatan yang haus akan Teknologi dan Informasi. Sesuai dengan tujuan kami yakni meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berwawasan global dan berjati diri lokal sehingga mampu bersaing di era globalisasi saat ini., Gedung berlantai 2 dilengkapi 3 Ruang Lab komputer full AC lengkap dengan total 70 unit komputer, tempat fotocopy, rental pengetikan dan netgames LPK Cyrus Paulus siap memberikan kemanjaan bagi para peserta pelatihan. Kebutuhan akan pendidikan luar sekolah saat ini menuntut kami terus melakukan ekspansi dengan memberikan materi-materi program komputer yang terkini dan sesuai standar kurikulum berbasis kompetensi yg sekarang di canangkan oleh dinas Pendidikan, adapun materi pengajaran Life skills yang ditujukan untuk tenaga kerja baik yang fresh graduated ataupun yang sedang bekerja. Minahasa Selatan bebas buta IT merupakan visi utama yang diemban oleh kami, oleh karena itu dengan harga kursus yang terjangkau membuat kami tidak beroreantasikan pada profit atau mejadikan LPK Cyrus Paulus sebagai media komersil yang berbau bisnis. Adapun materi program kursus yang kami berikan untuk peserta kursus adalah sebagai berikut 1. Program Sekolah yang disesuaikan pada kurikulum sekolah berbasis kompetensi 2. Program Umum sesuai dengan pilihan/ keinginan peserta kursus 3. Program Lifeskills yang diberikan buat tenaga siap pakai ataupun yang sedang kerja. Metode pengajaran di LPK Cyrus Paulus ada 2 macam yg pertama adalah stationery yakni proses pembelajaran dilaksanakan lab komputeryang berada didalam Gedung LPK yakni. adapun metode yg kedua adalah Lab Mobile keliling yakni LPK Cyrus Paulus mendatangi desa yang belum terjangkau angkutan umum / listrik dan lokasinya jauh dari kecamatan Tumpaan. Lab mobile hadir di Miahasa Selatan berdasarkan atas analisa yang kami lakukan bahwa kebutuhan fasilitas komputer pada sekolah-sekolah di Minahasa Selatan yang sangat tidak memadai dimana hasil yang kita dapati grafik sesuai survey dilapangan yang ada bahwa dari 595 sekolah yang berada dikabupaten Minahasa Selatan hanya terdapat 24 sekolah (4%) yang memiliki komputer, dan dari 24 sekolah tersebut dibagi lagi hanya 13 sekolah (2%) dengan jumlah total 236 unit yang menggunakan komputer sebagai fasilitas pendukung pelajaran komputer disekolahnya, dan 11 sekolah sisanya memiliki komputer hanya untuk kegiatan operasional. Lab mobile merupakan satu unit bus elf isuzu dilengkapi 30 notebook dan 3 org instruktur, tim lab mobile siap datang ke lokasi pengajaran tepat waktu sesuai jadwal yang telah disusun. Pelatihan yg diberikan adalah 2x45 menit disesuaikan dengan waktu/durasi pelatihan yang ada di metode stationary hanya saja lab mobile diberikan jeda waktu 1 jam setiap pindah lokasi pelatihan.Tiap peserta pelatihan lab mobile diberikan waktu dan kebebasan untuk berinteraksi, konsultasi dengan pangajar. Sesuai data terakhir bulan Mei total 2138 siswa telah lulus dari metode kursus Lab mobile. Perlu diketahui Lab mobile merupakan satu-satunya komputer keliling pertama yang ada di Indonesia dan telah mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia diberikan langsung oleh Bpk. Paulus Pangka didesa Tawaang kabupaten Minsel dan diterima Oleh Benny Jozua Mamoto sebagai owner LPK Cyrus Paulus dan founder Lab mobile. Kegiatan pelatihan LPK Cyrus Paulus telah dikembangkan ditahun 2008 ini dengan hadirnya lab bahasa dan ketrampilan perbengkelan. Semoga kedepannya nanti Lab Mobile bukan hanya melayani masyarakat kabupaten Minahasa selatan tetapi juga bisa melayani masyarakat yang ada diSulawesi Utara.

Kamis, 13 November 2008

WARUGA DILIHAT DARI KACA MATA SENI BUDAYA

Oleh : Jessy Wenas

Waruga termasuk klasifikasi “ Sarkofagus” (kubur batu) terdiri dari dua kata yang menjadi satu WALE-RUGA (Wale = Rumah;Ruga=Roga=Rega=Hancur) Tempat Jenazah hancur menjadi Tulang belulang. Orang Minahasa mengenal dua kali pemakaman, yang pertama sebelum abad ke-5(lima) jenazah dimakamkan dalam Kotak Petih Kayu disebut “ Walongsong “ diletakan di hutan kemudian tulang belulangnya dicuci di sungai dan dimasukkan dalam Kotak Kayu kecil lalu disimpan di (loteng) rumah.

Setelah abad ke-5(lima) tulang belulang dipindahkan ke dalam bejana tanah liat baker yang berbentuk rahim wanita dan di makamkan kedalam tanah seperti yang ditemukan di wilayah selatan Danau Tondano segitiga Kakas, Langoan,Paso. Sesuai pemikiran Minahasa Purba bahwa manusia lahir dari rahim wanita dan meninggal kembali lagi ke rahim wanita yang dalam bentuk bulat lonjong seperti bentuk rahim wanita yang terbuat dari tanah liat bakar yang disebut “kurek”. Pemakaman jenazah kedalam kubur batu waruga di Minahasa baru dimulai sekitar abad 12(dua belas) atau mungkin sebelum abad itu , tapi bukti susah ditemukan karena Batu Waruga yang berat cenderung tertarik masuk kedalam tanah karena daya tarik bumi. Hingga yang masih ditemukan Waruga sekarang adalah Waruga yang ber asal dari abad 14 dan 15 dan yang paling banyak waruga abad 16 sampai abad 20. Waruga yang paling akhir setelah tahun 1900 terdapat di desa Kolongan Tomohon dekat RS Gunung Maria telah memiliki pahatan nama dari si yang meninggal dan angka tahun 1918.

Tulisan buku oleh penulis barat berjudul De Minahasa.N Groaf land terbitan 1898, Ancient Art of The Minahasa .DR Hetty Palm 1961 Alfoersche Legenden. N.PH Wilken 1863. Die Minahasser F.S Sarasin 1893, banyak menulis mengenai waruga, tapi tulisan khusus di tulis M.R.C Bertling berjudul “ De Minahasische Waroega” (Hocker Bestattung) cetakan tahun 1931.

BENTUK WARUGA.

Umumnya Waruga berbentuk Rumah segi empat dengan batu penutup bentuk atap rumah segi-tiga, tapi ada juga Waruga berbentuk bulat seperti terdapat di Nimawanua Tondano model rumah bulat Papua – Irian.

Batu bulat berongga segi empat tempat jenazah di-letakkan dalam posisi duduk dengan posisi kedua tangan terlipat di dada seperti posisi bayi dalam kandungan di beri simbolisasi Wanita. Sedangkan batu penutup segi-tiga model atap rumah di beri simbolisasi laki-laki, pada batu penutup di beri relief pahatan identitas keluarga suami isteri pemilik Waruga.

Bahan Batu umumnya diambil dari tepi sungai jenis batu lembut dalam bahasa inggris “Sand Stone” yang akan lebih keras jika kena sinar matahari seperti lokasi tempat pembuatan Waruga di Sawangan Tonsea dan tepi sungai Ranowangko Kamasi Tomohon. Alat pembuat Waruga disebut “Tahak” (peda) golok dari besi dalam berbagai bentuk yang masih dapat kita lihat di kompleks Waruga Airmadidi Tonsea. Dengan alat itu batu kubur Waruga di bentuk dengan tehnik ukiran kayu, untuk mendapatkan bentuk segi tiga digunakan batu terikat tali yang di gantung sehingga mendapatkan segi tiga sama sisi, untuk bentuk segi empat digunakan dua tangkai bamboo sama panjang yang terikat di bagian tengahnya.

SIMBOLIS MOTIF HIAS

Relief ukiran bentuk manusia konsep lama seperti bentuk bayi tidur dengan kedua kaki dan kedua tangan terbuka dan bentuk kemaluan lelaki atau wanita jelas terlihat.

Bentuk ukiran manusia konsep baru akan terlihat gambar manusia nampak dari samping, atau topi bukan lagi kain ikat kepala tetapi topi model (cow boy) , seperti pada Waruga di Sawangan Tonsea.

Gambar ukiran manusia manusia lelaki (suami) dan gambar ukiran manusia wanita (istri) dipahatkan pada kedua sisi atap batu penutup Waruga beserta identitas seperti wanita mendukung anak, suami yang ber profesi sebagai Tona’as Mamu’is (tukang potong kepala) memegang pedang di tangan kanan memegang kepala orang di tangan kiri Tona’as “Mengangasu” (Pemburu) ada gambar anjing pemburu, Tona’as “Mengalei” ada gambar tangkai daun sirih, Tona’as “Penguma’an” (Petani) ada 12(dua belas) bulatan perhitungan bulan dalam satu tahun.

Karena hanya pemimpin tokoh masyarakat yang di makamkan dalam batu Waruga yakni para Tona’as dan Walian dan hanya ada 2(dua) jabatan pemimpin masyarakat Minahasa yakni para Tona’as yang memimpin pemerintahan , berperang ,menjaga hutan , membuat rumah,mengolah tanah, dan organisasi mapalus juga para Walian pemimpin upacara pertanian,Pemimpin Agama suku (Walian mangorai,Walian Merarages) umumnya mereke suami isteri.

Ada tiga bidang tempat motif hias Waruga yang melambangkan dunia atas,dunia tengah pada tebal batu penutup segitiga dan dunia bawah pada dinding batu segi empat ada simbol ular metamorphosa dan yang terletak pada bidang dunia tengah yakni gambar motif tanaman merambat atau tanaman merambat berkepala ular adalah symbol yang merubah dunia nyata kea lam roh ketika manusia meninggal.

Motif hias Waruga Tonsea sangat rumit dan indah tehnik pengerjaannya , Waruga Tombulu gambar-gambarnya memberi kesan menakutkan ada bentuk wajah manusia yang bertaring dan umumnya memegang pedang, Waruga Tontemboan punya hiasan sederhana bahkan ada yang tidak punya motif hias sama sekali.

UPACARA ADAT PEMAKAMAN

Setelah seseorang Tokoh Masyarakat meninggal maka jenazahnya di-ikat dalam posisi duduk di sebuah kursi selama satu malam dijaga oleh Walian “ Mawasal” membujuk roh si yang meninggal yang enggan berpisah dari badan kasarnya . Acara pemakaman esok harinya jenazah diturunkan dari lantai rumah yang papan lantainya sengaja dibuka , diletakkan di kursi jenazah disebut “ Lulukeran” dan di gotong mengelilingi rumah tiga kali lalu berkeliling kampung dan akhirnya di bawah ke Waruga yang terletak disebelah kanan halaman belakang rumah alamarhum.

Dimaksudkan supaya roh si mati tidak dapat lagi kembali kerumah semasa hidupnya.

Ketikah jenazah dimasukkan kedalam Waruga di dudukan diatas piring porselen cina bersama bekal kubur lainnya seperti botol minuman, manik-manik emas disebut “kamagi” padi,pisau,beras,mata tombak dan kepala orang.

Waruga mulai dibuat ketika seseorang mulai sakit berat dan kadang-kadang ukiran Waruga belum selesai si pemilik Waruga sudah meninggal.

Waruga hanya dapat digunakan oleh satu keluarga suami-isteri dan anak-anaknya, misalnya pengguna pertama memakamkan suaminya ketika isteri meninggal beberapa tahun kemudian maka kerangka suaminya dipindahkan ke kotak kayu “Balongsong” agar Waruga dapat digunakan untuk jenazah isteri.

Ada Waruga kosong tanpa kerangka manusia karena ketika kerangka kedua orang tua sudah dikeluarkan, anak-anak pemilik Waruga sudah masuk Kristen dan tidak lagi mau menggunakan Waruga tapi bekal kubur kalung emas,medallion emas,gelang emas,piring porselin cina tidak dikeluarkan dari dalam Waruga.

MERA WARUGA

Ketika jalan-jalan di Minahasa mengalami perubahan karena mulai menggunakan kendaraan roda dua gerobak atau pedati disebut roda sapi dan roda kuda, lahirlah jalan raya utama sehingga jaringan jalan berubah , halaman depan rumah menjadi halaman belakang, lokasi Waruga menjadi pasar. Tahun 1850 ketika Outford Pelengkahu menjadi Hukum Besar Tonsea membuat lokalisasi Waruga-Waruga Tonsea di Airmadidi Sawangan , Kasar Karegesan. Memindahkan Waruga-Waruga dalam satu lokasi khusus di Airmadidi dan Sawangan, hal ini tidak terjadi di wilayah Tombulu karena pemukiman negeri lama disebut “Nimawanua” jauh dari jalan raya yang mulai terbentuk tahun 1850-an Sarongsong-Kinilow,Tomohon-Tanawangko,Tomohon-Tondano. Sama seperti di kota Tondano “Minawanua” hulu sungai Tondano jauh dari jalan raya.

Komplek Waruga di jalur jalan raya Sonder-Kawangkoan yakni di Kiawa tidak dipindahkan malahan ada yang dihancurkan atau dibiarkan terbenam kedalam tanah, ada Waruga tonsea yang di pindahkan ke Museum di Manado tanpa upacara adat.

Hingga tanpa data tahun pemindahan dan data asal Waruga dari Tonsea wilayah mana , milik dotu siapa.

Upacara adat menentukan apakah sebuah Waruga boleh dipindahkan atau tidak, seperti Waruga Roland Ngantung Palar di pertigaan Matani Tomohon tidak boleh dipindahkan.

Upacara adat pemindahan Waruga disebut ”Mera” Waruga (Mera=Pindah) batu Waruga diangkat dengan tali pohon bambu muda yang dipelintir disebut ”Mules” menjadi tali.Alasan supranatural sulit dijelaskan tapi alasan tekhnis menurut logika bahwa tali ini tidak akan merusak permukaan batu Waruga.

Tona’as yang memimpin upacara ”mengalei” pada pemindahan Waruga harus di kawal Kabasaran yang melindungi si Tona’as dari gangguan roh jahat atau niat jahat sesama manusia karena ada juga Tona’as yang jahat dan yang baik pengertian jahat adalah mengutamakan kepentingan pribadi, sehingga upacara adat pemindahan Waruga tidak lagi mementingkan Roh si pemilik Waruga yang tidak lagi berdiam dalam Waruga. Karena pada waktu pemakaman sudah dilakukan upacara adat ”Zumouk Tanak” roh si mati menjauh dari bumi menuju langit (Kasendukan,Kalawakan,Sinayawan) Upacara adat lebih mengutamakan pada masalah minta ijin.

WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA

Waruga dalam budaya Minahasa lama secara pralogis (logika lama) tidak dianggap benda sakral seperti halnya Batu Tumotowa atau batu Pinawetengan yang tempo dulu di keramatkan karena menyangkut kepentingan orang banyak.

Batu Tumotowa jadi pusat berdirinya sebuah pemukiman , Negeri disebut Wanua, batu Pinawetengan tempat melakukan perdamaian antara walak-walak subetnik yang bermusuhan untuk bersatu ”maesa’an” asal kata Minahasa .

Waruga hanya kotak batu tempat merobah jenazah menjadi kerangka milik pribadi satu keluarga, banyak Waruga yang tidak lagi di ketahui milik keluarga siapa pada zaman lampau.

Apa dan bagaimana kehidupan pemimpin-pemimpin Minahasa tempo dulu dapat terbaca melalui gambar pada Waruga sekaligus memberi data kebudayaan Minahasa jaman lampau .

Bentuk busana abad 16-17 gambar topi kuningan ”Paseki” jaman spanyol di Minahasa,termasuk gambar senapan yang sudah digunakan orang Minahasa sejak abad 16 memerangi spanyol keluar dari Minahasa tahun 1644.

Waruga adalah benda informasi masa lampau mengenai seni budaya Minahasa yang akurat tidak dapat disangkal sebagai barang bukti sejarah,budaya,sistem pemerintahan dan kesenian.

CATATAN SEJARAH :

- Keramik cina yang terdapat dalam Waruga ada yang berasal dari dinasti Ming,Sung,Tang abad 11-12 menceritakan sebagai barang bukti bahwa kapal-kapal dagang cina sudah datang ke Minahasa di-abad itu walaupun tidak tercatat dalam sejarah Minahasa dalam bentuk data tertulis.

- Abad 16-17 orang Minahasa banyak menggunakan perhiasan emas, banyak jenis kalung emas berbagai bentuk,gelang emas,anting emas di ketemukan dalam Waruga oleh Spanyol yang datang ke Minahasa.

- Abad 16-17 orang Minahasa sudah menggunakan senapan ”Muskat” dalam perang antar walak dan mengusir Spanyol dari Minahasa tanggal 10 Agustus 1644, Minahasa mungkin suku bangsa Indonesia yang pertama menggunakan senjata api.

CATATAN BUDAYA :

- Gambar arca perunggu kepala tongkat Tona’as dan Walian yang disebut ”Olad” dan ”Sekad” pada badan Waruga di Kakas dan Sawangan berasal dari jaman abad 15-16. Memberi data bahwa orang Minahasa dapat membuat arca perunggu yang berongga didalamnya dengan menggunakan cetakan, sebelum kedatangan bangsa barat Portugis dan Spanyol ke Minahasa.

- Gambar manusia Waruga Tombulu yang memberi kesan menakutkan memberi gambaran budaya Tombulu berbentuk militeristik sebagai tentara sewaan menjual jasa pada walak-walak Minahasa lainnya seperti mengirim 800 tentara membantu walak Ratahan abad 16. Bentuk prajurit tradisional ini tercermin pada tari kabasaran Tombulu yang tetap bertahan dari kepunahan hingga sekarang ini.

- Keindahan Waruga Tonsea melebihi keindahan Waruga-Waruga subetnik di Minahasa lainnya yang menunjukkan orang Tonsea lebih terbuka menyerap budaya luar masuk Minahasa lebih moderat dan tidak ortodoks seperti Tombulu dan Tontemboan di masa lampau.

SISTEM PEMERINTAHAN

Waruga Pemimpin Minahasa adalah milik suami istri bila suami sebagai Tona’as Wangko Kepala Negeri,Kepala Walak maka istrinya adalah Walian Wangko yang mengatur produksi tanaman padi , pengendalian perdagangan beras. Walau Minahasa tidak mengenal raja tapi pemerintah republik desa berada pada pasangan suami isteri yang pasti berkuasa mutlak sebagai raja-raja kecil di wilayahnya. Waktu atau masa berkuasa sampai dua atau tiga generasi sampai ada suami isteri lain yang menumbangkannya. Contoh pemerintahan Tonsea abad 16 dipegang keluarga Wenas tiga generasi dan kemudian berpindah ke Pelengkahu tiga generasi lalu beralih ke Rotinsulu tiga generasi.

Masing-masing Pakasaan Tonsea,Tombulu,Tondano,Tontemboan berkuasa mutlak atas wilayahnya masing-masing.

KESENIAN

Motif hias pada batu waruga punya nilai artistik yang tinggi dalam gaya dekoratif sayangnya orang Minahasa tidak mau mengembangkannya sebagai motif hias asli orang Minahasa karena menganggap motif hias kubur orang mati yang sebenarnya motif hias itu ingin mengambarkan profesi si pemilik Waruga semasa hidupnya sebagai pemimpin masyarakat yang kepemimpinannya patut di contohi anak keturunannya.

Gambar manusia pada Waruga Tonsea menjelaskan perkembangan seni berbusana dari model jubah panjang dengan kain ikat kepala sebelum abad 17, lalu berubah menjadi model jas panjang busana eropa dengan topi (cow boy) setelah abad 17 dalam posisi bertolak pinggang gaya menantang seperti tuan – tuan orang Eropa.

Hingga kini banyak kaum cendekiawan Minahasa berpendapat Minahasa tidak punya motif hias dan ingin mengadopsi motif hias Eropa

Tinggi rendahnya Kebudayaan sebuah subetnik suku bangsa di Indonesia ditentukan oleh ada tidaknya budaya mengukir pada kayu dan batu.Dalam hal ini Minahasa di wakili oleh ukiran pada batu Waruga karena ukiran kayu Minahasa masa lampau telah hancur dimakan jaman.

STRATEGI PENGEMBANGAN SENI BUDAYA


Benny Matindas

Pengembangan seni budaya dapat diartikan sebagai:

A. Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan

B. Pengembangan Kesenian dalam rangka memajukan Kebudayaan

[Penelitian iptek di kampus dan laboratorium dpt digolongkan “pengembangan kebudayaan” – A ]

[Pembahasan kita menggunakan pendekatan B.]

Perlunya STRATEGI (Man Made), Bukan ALAMIAH karena KEBUDAYAAN itu sendiri adalah “man made”, dibedakan dgn semua kekayaan serta keindahan yg diberi Tuhan dan alam.

Terlalu banyak faktor determinan yg akan menggiring perkembangan budaya ke arah mundurnya peradaban diantaranya adalah :

· Struktur dan Kondisi Sosial Politik

· Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

· Nilai-nilai Budaya yg Keliru

· Dan lain-lain.

Di sinilah pentingnya peran pemimpin yang bertanggung jawab. Untuk menetapkan dan melaksanakan strategi yang benar.

Muncul pertanyaan : Ke Mana Arah Strategi? (Karena pada umumnya orang sdh terbiasa tidak merumuskan arah.) Hal itu disebabkan :

1. Asumsi bahwa semua orang sudah tahu arah. Padahal belum.

2. Anggapan umum bahwa targetnya adalah: maraknya aktivitas seni. Padahal sering maraknya seni tidak membawa pada kemajuan, sehingga ketika aktivitas surut maka kembali lagi ke titik nol.

3. Karena memang tak pernah merasa perlu strategi; bahkan tak perlu pengembangan.

Arah STRATEGI PENGEMBANGAN SENI Untuk KEMAJUAN KEBUDAYAAN :

“Adanya seniman-seniman yang mencipta karya seni dengan artistika dan estetika

Yg lebih dari yg sudah ada.”

Artistika mengenai teknik yg digunakan. Sedangkan, Estetika dalam hal ini berkenaan dengan nilai-nilai etis serta wawasan filosofis yang melatari dan mengarahkan proses kreatif maupun yang terkandung sebagai pesan dalam karya yang dihasilkan. Untuk itu, strategi yang dilaksanakan harus mengarah pada:

Ø Munculnya dan survive-nya para Seniman Kreatif.

Ø Adanya Kritik Seni yg akan mengajarkan kepada masyarakat luas (termasuk para seniman dan calon seniman yg nanti akan muncul) ttg teknik-teknik yg digunakan (Artistika) dan konsep Estetika dlm setiap karya. Art dan Estetika yg sudah dikenal inilah yg akan menjadi tumpuan bagi langkah berikutnya yang lebih maju.

Ø Adanya apresiasi untuk berkarya kreatif.

Secara alamiah, 3 hal ini saling berkait, mutual-simbiosis. Tapi upaya manusia, ya kita semua, yg dilakukan secara SADAR dan SISTEMATIS akan lebih menjamin hasil yg lebih BESAR dan lebih CEPAT. Dorongan internal untuk berkarya kreatif merupakan faktor alamiah dlm diri setiap seniman. Tetapi APRESIASI adalah faktor eksternal bagi para seniman yang mendorong, merangsang, dan sekaligus menjamin untuk ia tetap eksis dan bahkan survive. Masyarakat yg Sadar Dan Pemimpin yg Bertanggung Jawab Harus menjalankan fungsi: APRESIATOR.

Apresiasi seni akan mendorong para seniman untuk berkarya kreatif dengan cara :

Ø Memberi Penghargaan melalui Festival/Lomba.

Ø Memberi Penghargaan melalui Anugerah Pengabdi Seni.

Ø Memberi Penghargaan atas penampilan/kerja Seni.

Ø Menumbuhkan nilai di masyarakat bhw Seni itu Sesuatu yg Penting dan Besar. Misalnya melalui Tampilan yg merebut perhatian besar, kolosal, Dan mendapat penghargaan/pengakuan resmi Dari pihak yg merepresentasi skala lebih luas, Nasional atau internasional (seperti MURI).

Sehingga apresiasi seni akan mendorong para seniman untuk berkarya kreatif. Dan para seniman lainnya akan berperan sebagai kritikus seni atas karya-karya yg ditampilkan. Karena KREATIVITAS dalam hal ini Berkenaan dengan Pencapaian yg lebih Daripada yg ada sebelumnya, Yang sudah ada dijadikan tumpuan Untuk pencapaian baru, Maka jelas diperlukan: PENDIDIKAN

PENDIDIKAN SENI

Pendidikan Seni harus Dilaksanakan Melalui Semua Jalur (Formal, Non-Formal, Informal) Dan Semua Jenjang (Sampai Perguruan Tinggi) Sebagaimana Fakultas Bahasa Dan Seni Unima. Kami melalui Festival Seni Budaya Sulawesi Utara dan Institut Seni Budaya melaksanakan Pelatihan Massal untuk Maengket, Kolintang, Tari Kabela, Kabasaran, Masamper, dan akan banyak lagi. Pendidikan di bidang seni tradisional Sulawesi Utara belum banyak disentuh. Padahal pengenalan pada Artistika dan Estetika SENI TRADISIONAL bukan hanya menjadi tumpuan pengembangan Seni di masyarakat, tapi juga untuk membina JATIDIRI setiap warga masyarakat. Perlunya memperkokoh JATIDIRI adalah mutlak untuk :

Lebih Percaya Diri

Lebih Cerdas dan Kreatif

Masyarakat yg Unggul

Lebih berbahagia

Hambatan-hambatan yang muncul terhadap pengembangan seni budaya terutama berpangkal dari ketidakmengertian tentang fungsi seni dan budaya. Seni cuma dianggap hiburan, ringan, pelengkap acara. Budaya hanya dimengerti secara sempit, hanya seni budaya tradisional, sehingga cukup menjadi bagian dalam Pariwisata dan sebagainya.

Lebih lanjut lagi Ketidakmengertian tentang HAKIKAT serta FUNGSI Seni dan Budaya oleh PEMERINTAH, MASYARAKAT bahkan oleh umumnya SENIMAN sendiri.

Pendidikan Seni melalui semua jalur harus dilakukan untuk menanamkan kesadaran masyarakat tentang Hakikat dan Fungsi Seni. Disini dapat kita lihat SENI adalah Karya Kreatif manusia yang antara lain berfungsi sebagai :

Ø Pemasok bahan baku bagi kesadaran dan

Ø Pengembangan iptek.

Ø Pembentuk harmoni batin.

Ø Seni kreatif merangsang kreativitas masyarakat

Dapat disimpulkan bahwa SENI adalah Lokomotif atau Ujung Tombak Pengembangan Kebudayaan dan BUDAYA adalah Faktor Determinan atas semua aspek Kehidupan Manusia. [ Aspek-aspek Sosial, Politik, Ekonomi ]

”Mari kita sama-sama berjuang paling depan Dalam pembangunan masyarakat dan bangsa, melalui Pengembangan kesenian Dan Pembangunan kebudayaan”

Salam Budaya!

Sambutan Ketua Umum Institut Seni Budaya Sulawesi Utara


Tak kenal, maka tak sayang. Itu adalah adagium yang telah sangat di hafal, dan kita setujui maknanya. Tetapi lebih dari itu, sepanjang mengenai seni budaya tradisional, bagi setiap kita yang berasal dari dalam lingkaran kebudayaan tradisonal itu, tak mengenal seni budaya leluhur sama dengan membunuh suatu potensi paling dasar dari pribadi kita sendiri. Akibatnya jelas, sebagai manusia kita akan mengalami ketercerabutan dari salah satu akar jati diri kita sendiri, dan dengan demikian menyia-nyiakan salah satu modal dasar utama dalam mencapai puncak keunggulan diri. Padahal kita semua sedang berhadapan dengan globalisasi di mana setiap pribadi dan setiap bangsa atau pun suku bangsa tanpa terhindarkan telah terlempar ke tengah kancah persaingan sangat tajam, baik dalam hal meraih segala berkah luar biasa yang tersaji sebagai resultan kemajuan peradaban sedunia maupun untuk sekedar mempertahankan hidup (survival).
Mengangkat ke pentas sembilan cabang seni tradisonal yang merupakan kekayaan budaya Sulawesi Utara – Tari Maengket, Tari Kabela, Tari Masamper, Tari Mahamba’, Tari Jajar, Tari Kabasaran, Musik Bia', Musik Kolintang dan Musik Bambu – ini tak lain merupakan upaya sebisanya yang dapat kita lakukan berdasar kesadaran tentang penting dan strategisnya membangkitkan seni budaya leluhur demi keunggulan semua kita sebagai individu maupun sebagai bangsa. Dengan senantiasa mengingat, 9 itu tentu saja bukan sudah semua dari kekayaan budaya yang di miliki daerah kita tercinta. Cabang seni yang lain dan oleh pihak manapun di antara kita.
Untuk setiap cabang kesenian, diharapkan sudah memiliki pelatih ataupun kader dalam jumlah (kuantitas) yang besar dan terus membesar, yang disertai bekal ketrampilan teknis dengan kualitas yang memadai. Masyarakat disetiap pelosok didorong untuk mendirikan grup atau sanggra seni tradisonalnya. Cabang- cabang yang memerlukan peralatan khusus, seperti perangkat alat musik dalam kesenian kolintang, disusahakan pengadaannya; sembari menghidupkan roda produksi para pengrajin alat-alat musik tradisonal maupun peralatan seni lainnya. Mengingat kondisi perekonomian masyarakat kebanyakan yang belum cukup berkembang melalui pembangunan selama ini, sehingga para seniman di kampung – kampung harus menunda aktivitas berkarya seninya lantaran harus lebih dulu memenuhi kebutuhan pokoknya melalui bidang masyarakat termasuk kita semua sangatlah dibutuhkan. Dan ini adalah kebutuhan budaya, yakni aspek yang justru akan memungkinkan pembangunan bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya semakin bias dijamin keberhasilan optimalnya.
Bersama dengan semua kativitas seni budaya Sulawesi Utara ini pun diusahakan beberapa proyek pemecahan rekor MURI untuk segi kuantitas dari artefak budaya kita (seperti terompet dari musik bambo klarinet) dan beberapa produk andalan daerah ( seperti kacang dan dodol) yang dikemas dalam visual art (seni rupa) berukuran besar/ kolosal yang melibatkan sebanyaknya warga. Kesemuanya tak lain untuk menggerakkan apresiasi masyarakat terhadap seni budaya secara lebih dan lebih lagi, itu saja.
Kiranya Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan karunia serta perlindungan-Nya bagi setiap kita untuk tetap dan semakin bergiat dalam memajukan seni budaya kita sebagai bagian dari kebudayaan sesama umat manusia di manapun berada.
Mari sama-sama bergiat, I Yayat U Santi!

Benny J. Mamoto

Selasa, 11 November 2008


Langit cerah tak berawan, ditengah lingkaran sejumlah penari terdapat seorang komandan tari yang berbadan bongsor, berukuran pendek, memakai helm usang terbuat dari tembaga lengkap dengan kepala burung yang telah diawetkan. Matanya melotot ke depan, ke arah lawan, dengan aroma membunuh sembari memegang tombak ia bergerak dengan gesit sesekali mengangkat tombak ke udara, menghibur para tamu yang terkagum-kagum melihat aksinya. Usia senja seakan tidak menjadi hambatan untuk tetap semangat menarikan Kabasaran, tarian perang rakyat Minahasa. Baju perang berwarna merah di lengkapi atribut tulang tengkorak yaki (Sejenis monyet khas Minahasa) digantung dilehernya. Tanpa mengenakan alas kaki sengatan sinar matahari yang panas menusuk kulit tidak dihiraukan, teriakan-teriakan "I Yayat U Santi" menghentak jantung para penonton yang menyaksikan memberikan decak kagum. Itulah sepenggal kenangan Saya ketika menyaksikan pertunjukan yang disajikan oleh alm. Om Owik beberapa bulan yang lalu. Namun kini Beliau telah berpulang ke hadirat Tuhan yang maha esa.
28 oktober 2008 hari Sumpah Pemuda bangsa Indonesia, hari itulah Om Owik menghebuskan nafas terakhir di RS Bethesda Tomohon. Lodwyk Dirk Ngantung atau Om Owik, telah tiada namun namanya hanya akan tetap dikenang oleh seniman-seniman daerah sebagai Maestro Kabasaran Minahasa. Minimnya honor yang dibayarkan kepada para seniman daerah tidak menyurutkan niat-Nya untuk tetap mengenalkan tarian Kabasaran sampai akhir hayat. Tarian perang suku Minahasa, suku bangsa Saya sendiri dan mungkin juga kalau Anda masih mengakui bahwa itu suku bangsa Anda juga, berhubung Minahasa telah memudar dari peradaban dunia. Faktor ekonomi saat ini membuat Saya sendiri melupakan kesenian asli Minahasa, bahasa daerah, dan dimana saya melihat umumnya parang diganti helm, yaitu para petani menjadi tukang ojek. Makin surutlah niat Saya untuk belajar Kesenian masyarakat Minahasa. Pada kenyataannya kesenian asli daerah hanya menjadi hobi dan hanya dikembangkan oleh segelintir masyarakat Minahasa. Berprofesi sebagai seniman tentunya sekarang ini merupakan pilihan hidup yang sulit dilihat dari penghasilan apalagi untuk menjadi seniman kelas daerah. Perlu perenungan sampai kiamat buat Saya sendiri sebagai pemuda Minahasa untuk membuat keputusan seperti Om Owik. Perasaan bangga dan penghargaan setinggi-tingginya patut Saya berikan untuk seorang Lodwyk Ngantung, penari sekaligus seniman Minahasa.
Dibalik rasa malu, ingin rasanya mengatakan bahwa pertujukan tarian Kabasaran lebih nikmat dibanding menyaksikan konser Kerispatih, naff, dan band-band muda lain. Apalagi band dari luar Negeri seperti Linkin park dan sejenisnya. Tapi sangat susah untuk mengakuinya karena akan mengundang hujatan dari teman-teman pemuda yang lain. Mereka yang setiap malam berbondong-bondong memenuhi sport cafe yang ada di kota Manado, rela merogoh kocek ratusan ribu rupiah sampai jutaan hanya untuk melihat sexy-sexy dancer. Dan akhirnya membuat mereka gengsi untuk menyaksikan kesenian dari daerah sendiri karena terkesan kolot dan jadul.
Sangat disayangkan, almarhum Lodwyk Ngantung belum sempat menceritakan segudang pengalamannya dalam goresan buku. Buku yang harusnya dapat di baca oleh generasi penerus Minahasa, buku yang harusnya berisi tutorial panduan tarian perang tersebut dan nantinya bisa membuat pemuda-pemuda seperti Saya untuk bisa belajar menarikan tarian Kabasaran. (*als)

Senin, 10 November 2008

DEMI KEBUDAYAAN

DEMI KEBUDAYAAN

Kata Sambutan Oleh Benny Jozua Mamoto,

Budaya suatu masyarakat – di dalam seni menjadi salah satu lokomotif utama pembentukannya – merupakan penentu kualitas bahkan kadar kebahagian manusia- manusia dalam masyarakat itu . Budayanyalah yang akan menentukan kualitas politik suatu Negara serta daerahnya , sehatnya system demokrasi, tegaknya penegakan hak asasi manusia , kerukunan antargolongan masyarakat , berkembangnya sistem hukum yang lebih benar , adil , tertib dan berkepastian . Demikian halnya dalam bidang ekonomi , sejarah sejumlah bangsa maju telah membuktikan betapa nilai – nilai budayanya telah berperan sangat determinan dalam membangun sumber daya manusianya yang lebih produktif dan inovatif mekipun di tengah keterbatasan sumber daya alamnya . Sedemkian besar dan pentingnya peran kebudayaan , namun sayang sekali sedemikian pula ia sangat sering tak memperoleh perhatian yang memadai . Seni budaya terlalu sering hanya diperlakukan sebagai “ factor tambahan “; factor yang nanti diberi perhatian belakangan , setelah semua perhatian , dana dan tenaga tercurah pada aktivitas ekonomi maupun politik yang serba mahal dan menyita segenap perhatian . Sehingga seni budaya yang tumbuh umumnya hanya sebatas budaya pop ( pop culture) yang kita sangat tak bisa diharap berlebih untuk menjalankan peran mulia dan strategisnya sebagai penubuh kualitas masyarakat , sebab seni budaya pop tersebut sepenuhnya diarahkan oleh dan untuk kepentingan pasar . Sementara kegiatan seni budaya yang lebih serius terus terlalaikan , atau terlalu kurang dikembangkan dan difungsikan secara cukup berarti . Bertolak dari kenyataan yang memprihatinkan itulah kami bersama teman –teman selama beberapa tahun terakhir ini bersatu hati melakukan sedapat yang kami bisa , demi membangun kebudayaan . Kebudayaan dalam makna dan fungsinya yang hakiki . Suatu gerakan kebudayaan – yang antaranya ditandai serangkaian program penelitian , seminar dan simposium , konservasi dan dokumentasi , pelatihan / workshop , apresiasi seni dan festival /lomba yang meliputi setiap cabang seni tradisional Sulawesi Utara – kami tujukan tak lain untuk melestarikan dan mengembangkan seni budaya warisan leluhur yang di atas mana dapat dibangun secara lebih kokoh kebudayaan generasi hari ini dan generasi –generasi mendatang . Buku Sejarah & Kebudayaan Minahasa karya Jessy Wenas , yang tersaji di hadapan Pembaca yang kami muliakan , ini adalah wujud dari upaya kita bersama mendokumentasikan serta melestarikan kebudayaan warisan leluhur kita . Bila di masa lampau orang Minahasa telah terbukti unggul di hampir setiap bidang kehidupan di bandingkan dengan umumnya etnis lain di seluruh Nusantara , nilai –nilai budaya apa saja yang melatarbelakanginya ? Sejumlah nilai budaya tradisional Minahasa sangatlah relevan dan penting untuk dihayati serta dilestarikan generasi kini dan nanti . Sebut sebagai misal , nilai – nilai budaya tumani o rumapar (keluar dari kampung halaman untuk membuka lahan penghidupan baru dan mencapai keberhasilan puncak ) yang di masa sekarang ini kurang lebih selaras dengan semangat outward looking yang merupakan syarat mentalitas untuk bisa unggul di area globalisasi . Pendek kata , tak putus –putusnya kami mengajak kita semua , siapapun kita dan dari latar belakang apapun kita, mari bersama –sama membangun kebudayaan daerah kita tercinta untuk membangun bangsa serta kemanusiaan universal .

I yayat u santi !!

SEJARAH WATU PINAWETENGEN-MINAHASA

SEJARAH WATU PINAWETENGEN-MINAHASA

Oleh Danny Gerungan

Minahasa merupakan salah satu bagian dari wilayah Prov. Sulawesi Utara, dimana sebelum dinamakan Minahasa, wilayah ini dikenal dengan nama tanah MALESUNG.

Keadaan geografi tanah malesung terdiri dari pegunungan dataran tinggi serta bukit-bukit. Menurut sejarah pada tahun 1428 menunjukan bahwa penduduk tanah Malesung pemukimannya terpencar-pencar dan hidup berkelompok sehingga satu sama lain tidak bisa berkomunikasi terlebih tidak ada saling bantu membantu dalam hidup kebersamaan, hal ini sering terjadi dikala para penduduk ini mempertahankan wilayahnya dari serangan / pengacau yang datang seringkali gagal, demikian halnya pada saat mereka mengolah pertanian atau lebih sering pada saat berburu selalu terjadi pertentangan karena ada penduduk yang telah memasuki wilayah lain sehingga masing-masing saling mempertahankan wilayahnya.

Menyadari akan hal ini sering terjadi permasalahan maka oleh leluhur atau para tonaas tanah malesung mencari suatu tempat untuk diadakan pertemuan para pemimpin suku guna mencari solusi mengatasi masalah yang terjadi di tanah Malesung, dan setelah mereka mencari tempat maka didapatlah suatu tempat yang terletak disebuah bukit yang bernama bukit Tonderukan nama lokasi ini ditemukan oleh J.G.F. Riedel pada tahun 1881 yang berdasarkan ceritera rakyat disebut “ Watu Rerumeran ne Empung “ atau batu batu tempat para leluhur berunding yang mana disitu terdapat sebuah batu besar dan ditempat inilah berkumpul para pemimpin sub etnis Tou Malesung berikrar untuk menjadi sastu yakni menjadi satu Tou Minahasa sebuah kata yang berarti “ Mina “ (menjadi), “ Esa “ (satu) dalam perkembangannya sehingga tercetuslah menjadi MINAHASA.

Watu Pinawetengan dalam sejarah sampai saat ini banyak penafsiran-penafsiran yang timbul melalui penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti yang antaranya mengataka bahwa Watu Pinawetengan itu adalah :

1. Tempat pertemuan para pemimpin Sub Etnis Minahasa untuk membagi-bagi Wilayah dan bahasa masing-masing etnis
2. Sebagai tempat pertemuan para pemimpin sub Etnis untuk bermusyawarah menjadikan tanah Minahasa
3. Sebagai tempat berunding para leluhur
4. Tempat berikrar untuk bersatu melawan gangguan dari luar seperti Tasikela (Spanyol) dll.

Melihat beberapa pandangan tentang pengertian dan fungsi Watu Pinawetengan maka dapat disimpulkan bahwa Watu Pinawetengan merupakan suatu tempat berunding para pemimpin sub etnik yang ada di Minahasa untuk berikrar bahwa sub etnik di Minahasa walaupun hidup berkelompok tapi berstu untuk menghalau para pengacau dari luar serta membangun wilayah-wilayah yang ada di Minahasa yang ditandai dengan coretan-coretan yang ada diatas patu tersebut..

Watu Pinawetengan sampai saat ini tidak akan dilupakan oleh Tou Minahasa baik yang tinggal di Minahasa maupun yang di luar Minahasa karena tempat ini merupakan legenda hidup masyarakat Minahasa yang memiliki nilai sacral sehingga tidak akan hilang dari hati Tou Minahasa.

Pakatuan Wo Pakalawiren

INSKRIPSI GURATAN GAMBAR BATU PINAWETENGAN - MINAHASA

INSKRIPSI GURATAN GAMBAR BATU PINAWETENGAN - MINAHASA

Oleh : Jessy Wenas


I. Batu Pinawetengan menurut Cerita Rakyat

Ceritera rakyat mengenai adanya batu Pinawetengan di temukan penulis J.G.F Riedel dari cerita rakyat tombulu yang di cetak dalam bentuk buku berjudul "AASAREN TUAH PUHUHNA NE MAHASA" terbit di tahun 1870 dalam bahasa Tombulu. Lokasi tempat batu Pinawetengan pada mulanya hanya disebut tempat berkumpulnya penduduk Minahasa yang terletak di tengah-tengah Tanah Minahasa. Kemudian disebut tempat Pahawetengan Posan, pembahagian tatacara beribadat agama suku. Lokasinya disebuah tempat yang bernama bukit AWOHAN (AWOAN) di Tompaso. Istilah Watu Pinawetengan pada waktu itu belum ada, karena batu suci tempat upacara PAHAWETENGAN POSAN belum ditemukan karena sudah tertimbun dan masuk ke dalam tanah. Kemudian di tahun 1888 pada bulan Juni J.Alb.T. Schwarz seorang pendeta di Sonder membiayai penggalian batu Suci orang Minahasa tersebut, dan bulan Juli 1888 batu itu di temukan lalu lahirlah istilah "Watu Pinawetengan". Usia gambar-gambar di batu Pinawetengan di analisa penulis J.G.F Riedel berasal dari abad ke-7 (tujuh).

II. Analisa Arti Gambar Oleh J.Alb.T Schwarz.

Orang pertama yang menganalisa garis gambar di permukaan batu Pinawetengan adalah Pendeta J.Alb.T Schwarz, berdasarkan komentar Hukum Tua Kanonang Joel Lumentah. Keterangan Hukum Tua Kanonang dan seorang guru dari Sonder hanya mengenai bentuk segi-tiga adalah bentuk atap rumah pemimpin utama Minahasa yang memimpin upacara adat di batu Pinawetengan. Keterangan penting lainnya adalah gambar-gambar yang ada di tahun 1888 dan sekarang ini sudah hilang. Seperti gambar kelelawar, ikan hiu, buaya, jaring penangkap ikan. Hanya sampai disini uraian penulis J.Alb. Schwarz dalam bukunya "ETHNOGRAPHICA VIT DE MINAHASSA". Arti gambar manusia tidak dapat di analisa oleh Penulis J.Alb.T Schwarz.

III. Analisa Arti Gambar Oleh Jessy Wenas.

Penulis melanjutkan penelitian arti gambar batu Pinawetengan dengan melengkapi data cerita rakyat Tontemboan buku tulisan J.Alb.T.Schwarz "Tontembeansche Taksten" terbitan tahun 1907. bahwa pemimpin upacara adat di pinawetengan Maha dewa Muntu-Untu tidak hanya satu orang tapi ada beberapa orang dalam kurun waktu 800 Tahun. Kemudian membandingkan gambar manusia di Pinawetengan yang punya kesamaan dengan gambar manusia di gua Angano Filipina yang berusia 3000 tahun yang lalu, memberi data bahwa pembuatan gambar di batu Pinawetengan bukan hanya mulai dari abad ke-7 tetapi sudah di mulai sejak jaman sebelum Masehi. Untuk lebih mendalami penelitian simbol-simbol perbandingan gambar-gambar binatang dan benda lainnya dari sistim zodiak Minahasa dari buku " De alfoersche Dierenriem " tulisan pendeta berkebangsaan Belanda Jan Ten Hove cetakan Tahun 1887. Karena uraian simbol-simbol gambar zodiak buku JAN TEN HOVE tahun 1887 sangat jelas mengenai penggunaan simbolisasi itu. Maka bahan keterangan data itu digunakan penulis untuk menguraikan lebih jauh arti- arti gambar yang bukan gambar manusia di permukaan batu Pinawetengan.

WARUGA DILIHAT DARI KACA MATA SENI BUDAYA

WARUGA DILIHAT DARI KACA MATA SENI BUDAYA

Oleh : Jessy Wenas


Waruga termasuk klasifikasi “ Sarkofagus” (kubur batu) terdiri dari dua kata yang menjadi satu WALE-RUGA (Wale = Rumah;Ruga=Roga=Rega=Hancur) Tempat Jenazah hancur menjadi Tulang belulang. Orang Minahasa mengenal dua kali pemakaman, yang pertama sebelum abad ke-5(lima) jenazah dimakamkan dalam Kotak Petih Kayu disebut “ Walongsong “ diletakan di hutan kemudian tulang belulangnya dicuci di sungai dan dimasukkan dalam Kotak Kayu kecil lalu disimpan di (loteng) rumah.

Setelah abad ke-5(lima) tulang belulang dipindahkan ke dalam bejana tanah liat baker yang berbentuk rahim wanita dan di makamkan kedalam tanah seperti yang ditemukan di wilayah selatan Danau Tondano segitiga Kakas, Langoan,Paso. Sesuai pemikiran Minahasa Purba bahwa manusia lahir dari rahim wanita dan meninggal kembali lagi ke rahim wanita yang dalam bentuk bulat lonjong seperti bentuk rahim wanita yang terbuat dari tanah liat bakar yang disebut “kurek”. Pemakaman jenazah kedalam kubur batu waruga di Minahasa baru dimulai sekitar abad 12(dua belas) atau mungkin sebelum abad itu , tapi bukti susah ditemukan karena Batu Waruga yang berat cenderung tertarik masuk kedalam tanah karena daya tarik bumi. Hingga yang masih ditemukan Waruga sekarang adalah Waruga yang ber asal dari abad 14 dan 15 dan yang paling banyak waruga abad 16 sampai abad 20. Waruga yang paling akhir setelah tahun 1900 terdapat di desa Kolongan Tomohon dekat RS Gunung Maria telah memiliki pahatan nama dari si yang meninggal dan angka tahun 1918.

Tulisan buku oleh penulis barat berjudul De Minahasa.N Groaf land terbitan 1898, Ancient Art of The Minahasa .DR Hetty Palm 1961 Alfoersche Legenden. N.PH Wilken 1863. Die Minahasser F.S Sarasin 1893, banyak menulis mengenai waruga, tapi tulisan khusus di tulis M.R.C Bertling berjudul “ De Minahasische Waroega” (Hocker Bestattung) cetakan tahun 1931.

BENTUK WARUGA.

Umumnya Waruga berbentuk Rumah segi empat dengan batu penutup bentuk atap rumah segi-tiga, tapi ada juga Waruga berbentuk bulat seperti terdapat di Nimawanua Tondano model rumah bulat Papua – Irian.

Batu bulat berongga segi empat tempat jenazah di-letakkan dalam posisi duduk dengan posisi kedua tangan terlipat di dada seperti posisi bayi dalam kandungan di beri simbolisasi Wanita. Sedangkan batu penutup segi-tiga model atap rumah di beri simbolisasi laki-laki, pada batu penutup di beri relief pahatan identitas keluarga suami isteri pemilik Waruga.

Bahan Batu umumnya diambil dari tepi sungai jenis batu lembut dalam bahasa inggris “Sand Stone” yang akan lebih keras jika kena sinar matahari seperti lokasi tempat pembuatan Waruga di Sawangan Tonsea dan tepi sungai Ranowangko Kamasi Tomohon. Alat pembuat Waruga disebut “Tahak” (peda) golok dari besi dalam berbagai bentuk yang masih dapat kita lihat di kompleks Waruga Airmadidi Tonsea. Dengan alat itu batu kubur Waruga di bentuk dengan tehnik ukiran kayu, untuk mendapatkan bentuk segi tiga digunakan batu terikat tali yang di gantung sehingga mendapatkan segi tiga sama sisi, untuk bentuk segi empat digunakan dua tangkai bamboo sama panjang yang terikat di bagian tengahnya.

SIMBOLIS MOTIF HIAS

Relief ukiran bentuk manusia konsep lama seperti bentuk bayi tidur dengan kedua kaki dan kedua tangan terbuka dan bentuk kemaluan lelaki atau wanita jelas terlihat.

Bentuk ukiran manusia konsep baru akan terlihat gambar manusia nampak dari samping, atau topi bukan lagi kain ikat kepala tetapi topi model (cow boy) , seperti pada Waruga di Sawangan Tonsea.

Gambar ukiran manusia manusia lelaki (suami) dan gambar ukiran manusia wanita (istri) dipahatkan pada kedua sisi atap batu penutup Waruga beserta identitas seperti wanita mendukung anak, suami yang ber profesi sebagai Tona’as Mamu’is (tukang potong kepala) memegang pedang di tangan kanan memegang kepala orang di tangan kiri Tona’as “Mengangasu” (Pemburu) ada gambar anjing pemburu, Tona’as “Mengalei” ada gambar tangkai daun sirih, Tona’as “Penguma’an” (Petani) ada 12(dua belas) bulatan perhitungan bulan dalam satu tahun.

Karena hanya pemimpin tokoh masyarakat yang di makamkan dalam batu Waruga yakni para Tona’as dan Walian dan hanya ada 2(dua) jabatan pemimpin masyarakat Minahasa yakni para Tona’as yang memimpin pemerintahan , berperang ,menjaga hutan , membuat rumah,mengolah tanah, dan organisasi mapalus juga para Walian pemimpin upacara pertanian,Pemimpin Agama suku (Walian mangorai,Walian Merarages) umumnya mereke suami isteri.

Ada tiga bidang tempat motif hias Waruga yang melambangkan dunia atas,dunia tengah pada tebal batu penutup segitiga dan dunia bawah pada dinding batu segi empat ada simbol ular metamorphosa dan yang terletak pada bidang dunia tengah yakni gambar motif tanaman merambat atau tanaman merambat berkepala ular adalah symbol yang merubah dunia nyata kea lam roh ketika manusia meninggal.

Motif hias Waruga Tonsea sangat rumit dan indah tehnik pengerjaannya , Waruga Tombulu gambar-gambarnya memberi kesan menakutkan ada bentuk wajah manusia yang bertaring dan umumnya memegang pedang, Waruga Tontemboan punya hiasan sederhana bahkan ada yang tidak punya motif hias sama sekali.

UPACARA ADAT PEMAKAMAN

Setelah seseorang Tokoh Masyarakat meninggal maka jenazahnya di-ikat dalam posisi duduk di sebuah kursi selama satu malam dijaga oleh Walian “ Mawasal” membujuk roh si yang meninggal yang enggan berpisah dari badan kasarnya . Acara pemakaman esok harinya jenazah diturunkan dari lantai rumah yang papan lantainya sengaja dibuka , diletakkan di kursi jenazah disebut “ Lulukeran” dan di gotong mengelilingi rumah tiga kali lalu berkeliling kampung dan akhirnya di bawah ke Waruga yang terletak disebelah kanan halaman belakang rumah alamarhum.

Dimaksudkan supaya roh si mati tidak dapat lagi kembali kerumah semasa hidupnya.

Ketikah jenazah dimasukkan kedalam Waruga di dudukan diatas piring porselen cina bersama bekal kubur lainnya seperti botol minuman, manik-manik emas disebut “kamagi” padi,pisau,beras,mata tombak dan kepala orang.

Waruga mulai dibuat ketika seseorang mulai sakit berat dan kadang-kadang ukiran Waruga belum selesai si pemilik Waruga sudah meninggal.

Waruga hanya dapat digunakan oleh satu keluarga suami-isteri dan anak-anaknya, misalnya pengguna pertama memakamkan suaminya ketika isteri meninggal beberapa tahun kemudian maka kerangka suaminya dipindahkan ke kotak kayu “Balongsong” agar Waruga dapat digunakan untuk jenazah isteri.

Ada Waruga kosong tanpa kerangka manusia karena ketika kerangka kedua orang tua sudah dikeluarkan, anak-anak pemilik Waruga sudah masuk Kristen dan tidak lagi mau menggunakan Waruga tapi bekal kubur kalung emas,medallion emas,gelang emas,piring porselin cina tidak dikeluarkan dari dalam Waruga.

MERA WARUGA

Ketika jalan-jalan di Minahasa mengalami perubahan karena mulai menggunakan kendaraan roda dua gerobak atau pedati disebut roda sapi dan roda kuda, lahirlah jalan raya utama sehingga jaringan jalan berubah , halaman depan rumah menjadi halaman belakang, lokasi Waruga menjadi pasar. Tahun 1850 ketika Outford Pelengkahu menjadi Hukum Besar Tonsea membuat lokalisasi Waruga-Waruga Tonsea di Airmadidi Sawangan , Kasar Karegesan. Memindahkan Waruga-Waruga dalam satu lokasi khusus di Airmadidi dan Sawangan, hal ini tidak terjadi di wilayah Tombulu karena pemukiman negeri lama disebut “Nimawanua” jauh dari jalan raya yang mulai terbentuk tahun 1850-an Sarongsong-Kinilow,Tomohon-Tanawangko,Tomohon-Tondano. Sama seperti di kota Tondano “Minawanua” hulu sungai Tondano jauh dari jalan raya.

Komplek Waruga di jalur jalan raya Sonder-Kawangkoan yakni di Kiawa tidak dipindahkan malahan ada yang dihancurkan atau dibiarkan terbenam kedalam tanah, ada Waruga tonsea yang di pindahkan ke Museum di Manado tanpa upacara adat.

Hingga tanpa data tahun pemindahan dan data asal Waruga dari Tonsea wilayah mana , milik dotu siapa.

Upacara adat menentukan apakah sebuah Waruga boleh dipindahkan atau tidak, seperti Waruga Roland Ngantung Palar di pertigaan Matani Tomohon tidak boleh dipindahkan.

Upacara adat pemindahan Waruga disebut ”Mera” Waruga (Mera=Pindah) batu Waruga diangkat dengan tali pohon bambu muda yang dipelintir disebut ”Mules” menjadi tali.Alasan supranatural sulit dijelaskan tapi alasan tekhnis menurut logika bahwa tali ini tidak akan merusak permukaan batu Waruga.

Tona’as yang memimpin upacara ”mengalei” pada pemindahan Waruga harus di kawal Kabasaran yang melindungi si Tona’as dari gangguan roh jahat atau niat jahat sesama manusia karena ada juga Tona’as yang jahat dan yang baik pengertian jahat adalah mengutamakan kepentingan pribadi, sehingga upacara adat pemindahan Waruga tidak lagi mementingkan Roh si pemilik Waruga yang tidak lagi berdiam dalam Waruga. Karena pada waktu pemakaman sudah dilakukan upacara adat ”Zumouk Tanak” roh si mati menjauh dari bumi menuju langit (Kasendukan,Kalawakan,Sinayawan) Upacara adat lebih mengutamakan pada masalah minta ijin.

WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA

Waruga dalam budaya Minahasa lama secara pralogis (logika lama) tidak dianggap benda sakral seperti halnya Batu Tumotowa atau batu Pinawetengan yang tempo dulu di keramatkan karena menyangkut kepentingan orang banyak.

Batu Tumotowa jadi pusat berdirinya sebuah pemukiman , Negeri disebut Wanua, batu Pinawetengan tempat melakukan perdamaian antara walak-walak subetnik yang bermusuhan untuk bersatu ”maesa’an” asal kata Minahasa .

Waruga hanya kotak batu tempat merobah jenazah menjadi kerangka milik pribadi satu keluarga, banyak Waruga yang tidak lagi di ketahui milik keluarga siapa pada zaman lampau.

Apa dan bagaimana kehidupan pemimpin-pemimpin Minahasa tempo dulu dapat terbaca melalui gambar pada Waruga sekaligus memberi data kebudayaan Minahasa jaman lampau .

Bentuk busana abad 16-17 gambar topi kuningan ”Paseki” jaman spanyol di Minahasa,termasuk gambar senapan yang sudah digunakan orang Minahasa sejak abad 16 memerangi spanyol keluar dari Minahasa tahun 1644.

Waruga adalah benda informasi masa lampau mengenai seni budaya Minahasa yang akurat tidak dapat disangkal sebagai barang bukti sejarah,budaya,sistem pemerintahan dan kesenian.

CATATAN SEJARAH :

- Keramik cina yang terdapat dalam Waruga ada yang berasal dari dinasti Ming,Sung,Tang abad 11-12 menceritakan sebagai barang bukti bahwa kapal-kapal dagang cina sudah datang ke Minahasa di-abad itu walaupun tidak tercatat dalam sejarah Minahasa dalam bentuk data tertulis.

- Abad 16-17 orang Minahasa banyak menggunakan perhiasan emas, banyak jenis kalung emas berbagai bentuk,gelang emas,anting emas di ketemukan dalam Waruga oleh Spanyol yang datang ke Minahasa.

- Abad 16-17 orang Minahasa sudah menggunakan senapan ”Muskat” dalam perang antar walak dan mengusir Spanyol dari Minahasa tanggal 10 Agustus 1644, Minahasa mungkin suku bangsa Indonesia yang pertama menggunakan senjata api.

CATATAN BUDAYA :

- Gambar arca perunggu kepala tongkat Tona’as dan Walian yang disebut ”Olad” dan ”Sekad” pada badan Waruga di Kakas dan Sawangan berasal dari jaman abad 15-16. Memberi data bahwa orang Minahasa dapat membuat arca perunggu yang berongga didalamnya dengan menggunakan cetakan, sebelum kedatangan bangsa barat Portugis dan Spanyol ke Minahasa.

- Gambar manusia Waruga Tombulu yang memberi kesan menakutkan memberi gambaran budaya Tombulu berbentuk militeristik sebagai tentara sewaan menjual jasa pada walak-walak Minahasa lainnya seperti mengirim 800 tentara membantu walak Ratahan abad 16. Bentuk prajurit tradisional ini tercermin pada tari kabasaran Tombulu yang tetap bertahan dari kepunahan hingga sekarang ini.

- Keindahan Waruga Tonsea melebihi keindahan Waruga-Waruga subetnik di Minahasa lainnya yang menunjukkan orang Tonsea lebih terbuka menyerap budaya luar masuk Minahasa lebih moderat dan tidak ortodoks seperti Tombulu dan Tontemboan di masa lampau.

SISTEM PEMERINTAHAN

Waruga Pemimpin Minahasa adalah milik suami istri bila suami sebagai Tona’as Wangko Kepala Negeri,Kepala Walak maka istrinya adalah Walian Wangko yang mengatur produksi tanaman padi , pengendalian perdagangan beras. Walau Minahasa tidak mengenal raja tapi pemerintah republik desa berada pada pasangan suami isteri yang pasti berkuasa mutlak sebagai raja-raja kecil di wilayahnya. Waktu atau masa berkuasa sampai dua atau tiga generasi sampai ada suami isteri lain yang menumbangkannya. Contoh pemerintahan Tonsea abad 16 dipegang keluarga Wenas tiga generasi dan kemudian berpindah ke Pelengkahu tiga generasi lalu beralih ke Rotinsulu tiga generasi.

Masing-masing Pakasaan Tonsea,Tombulu,Tondano,Tontemboan berkuasa mutlak atas wilayahnya masing-masing.

KESENIAN

Motif hias pada batu waruga punya nilai artistik yang tinggi dalam gaya dekoratif sayangnya orang Minahasa tidak mau mengembangkannya sebagai motif hias asli orang Minahasa karena menganggap motif hias kubur orang mati yang sebenarnya motif hias itu ingin mengambarkan profesi si pemilik Waruga semasa hidupnya sebagai pemimpin masyarakat yang kepemimpinannya patut di contohi anak keturunannya.

Gambar manusia pada Waruga Tonsea menjelaskan perkembangan seni berbusana dari model jubah panjang dengan kain ikat kepala sebelum abad 17, lalu berubah menjadi model jas panjang busana eropa dengan topi (cow boy) setelah abad 17 dalam posisi bertolak pinggang gaya menantang seperti tuan – tuan orang Eropa.

Hingga kini banyak kaum cendekiawan Minahasa berpendapat Minahasa tidak punya motif hias dan ingin mengadopsi motif hias Eropa

Tinggi rendahnya Kebudayaan sebuah subetnik suku bangsa di Indonesia ditentukan oleh ada tidaknya budaya mengukir pada kayu dan batu.Dalam hal ini Minahasa di wakili oleh ukiran pada batu Waruga karena ukiran kayu Minahasa masa lampau telah hancur dimakan jaman.

SEJARAH MUSIK KOLINTANG

SEJARAH MUSIK KOLINTANG

Oleh : Jessy Wenas


Kolintang merupakan nama alat musik gong perunggu abad 17 di Sulawesi Utara, Sumatra dan Filipina Selatan yang tersebar melalui perdagangan antar pulau melalui jalur perdagangan sutra. Pusat perdagangan Internasional adalah Ternate dan Tidore sebagai penghasil rempah-rempah pala dan cengkih. Jalur perdagangan selatan dari pantai Timur India pelabuhan Cambaya, Sumatra Utara, Malaka, pantai Utara pulau Jawa lalu ke Ternate Tidore. Jalur perdagangan Utara dari India ke Malaka, Brunei, Filipina selatan, Sulawesi Utara, lalu ke Ternate dan Tidore.

Kolintang gong kemungkinan telah tiba di Minahasa melalui Ternate dari kerajaan Majapahit (1350-1389) yang armada pelayarannya sudah sampai dikepulauan Sangihe dan Talaud. Yang sudah tercatat dalam buku negara Kartagama ditulis : ”Uda Makat raya dinikanang sanusa pupul” (1*) mungkin juga dari Cina karena pulau Siauw telah tercatat dalam peta pelayaran Cina di buku ” Shun Feng Hsin Sung” ditulis oleh SHAO (2*) awal abad ke 15.

Tahun 1972 penulis membawa MOMONGAN ( Gong perunggu ) asal Tomohon di Minahasa yang retak, untuk diperbaiki di Yogyakarta, pengrajin Gong di Yogyakarta, mengatakan bahwa campuran timah dan tembaga gong tersebut menunjukkan ciri khas buatan kerajaan Belambangan dari Jawa Timur (Ditaklukkan Mataram pada tahun 1639).

Beberapa penulis bangsa barat yang menulis mengenai Minahasaawal abad ke 19 memberi data mengenai alat musik KOLINTANG Minahasa terbuat dari bahan logam dan bukan dari kayu. Penulis J. Hickson mencatat sebagai berikut (3*) ...the party next return to the house, the gong kolintang are sounded ( terjemahan bebas : …peserta pesta upacara kemudian kembali kerumah, dan gong kolintang lalu dibunyikan.) Selanjutnya penulis J. Hickson menceritakan mengenai Mapalus dan lebih menjelaskan bahwa kolintang itu gong (4*)

...Mapalus bieting Gongs / Kolintang (Terjemahan bebas : ...Pekerja Mapalus memukul Gong / Kolintang ). Nada – nada Kolintang Gong ditulis oleh N.Graafland dalam bentuk solmisasi, do – mi – sol – mi ... la – do – fa – si , ada gong besar dengan nada fa rendah (5*)

(1*) Bandar jalur sutra – dept. P&K – RI. Jakarta 1998. (Alex Ulaen, halaman 108)

(2*) Bandar Jalur Sutra – Dept. P&K – RI. Jakarta 1998. (Alex Ulaen, halaman 109)

(3*) Naturalist in North Celebes – London 1889 (J. Hickson, halaman 292)

(4*) Naturalist in North Celebes – London 1889 (J. Hickson, halaman 234)

(5*) De Minahasa, eerste deel – Batavia 1898 (N.Graafland, halaman 357)

Alat musik kolintang gong Minahasa jaman tempo dulu dapat kita lihat pada gambar sketsa buku Ethnographisce Miezelen Minahasa Celebes, A. Meyer and O. Ritcher di Museum Dresden 1902.

Gambar penari Kabasaran memakai tombak, di iringi musik kolintang gong yang nampak disebelah kanan bawah, seorang duduk menghadapi kolintang yang terdiri dua deret gong masing – masing satu deretan terdapat lima gong.

Kolintang Gong ini masih dapat di temukan di Airmadidi bawah wilayah Tonsea milik Ny. Kilapong dan Ny. Doodoh yang hingga kini musik MAOLING digunakan mengiringi tari MAPURENGKEY pada upacara perkawinan (6*). Apabila kita kumpulkan nama instrumen alat musik Gong di wilayah Nusantara dan Filipina, yang mirip dengan kata KOLINTANG akan terlihat sebgai berikut :

KOLINTANG : Nama alat musik Gong di Minahasa.

GOLINTANG (GORINTANG) : Nama alat musik di Bolaang – Mongondouw.

KELINTANG : Nama alat musik Gong di Sumatra yang di jadikan perbandingan nama KOLINTANG oleh penulis N.Graafland sebagai berikut (8*): ...De KOLINTANG (Minahasa) op Sumatra heet zij KULINTANG (Terjemahan bebas : ...KOLINTANG (Minahasa) di Sumatra bernama KULINTANG.

KULINTANG : Nama alat musik Gong di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatra (9*)

Dari nama-nama leluhur Minahasa jaman lampu seperti, Lintang, Lumintang, Lantang, Lintong, yang berhubungan dengan nama alat musik gong dan keterangan bunyi alat musik logam tersebut, TANG, TONG. Menunjukkan bahwa alat musik gong KOLINTANG itu sudah lama dikenal orang Minahasa, yang jaman tempo dulu punya nilai yang tinggi dimasyarakat dan hanya pemimpin masyarakat yang memiliknya yakni dari golongan TONAAS dan WAILAN. Dapat diambil kesimpulan bahwa leluhur (Opo’) yang mengambil nama dari alat musik Gong ini memiliki status sosial yang tinggi dimasyarakat.

Satu buah alat musik Gong dinamakan ”Momongan”, satu deretan momongan disebut KOLINTANG terdiri dari lima Gong (Penthatonis), Gong besar disebut ”Antung” atau ”Rambi”. Orkes musik MAOLING terdiri dari : Kolintang (Melodi), Momongan, Antung (Bass), Suling dan Tambor (Letek).

Ceritra rakyat Minahasa mengenal Dewa alat musik ketuk Xylophone dari kayu (kolintang kayu ) bernama TINGKULENGDENG yang mengetuk-ngetuk bilah kayu (10*) satu masa hidup dengan dewa MUNTU-UNTU abad ke tujuh (11*)

(6*) Hasil survey Koleksi Museum daerah Kebudayaan Minahasa. Kanwil.P&K.1982.Halaman.16

(7*) Majalah Filipina ”Quarterly” September.1975.halaman.69

(8*) De Minahasa, N.Graafland.eerste deel. Batavia.1989.halaman.357

(9*) Buku Objek Wisata kabupaten Komering Ulu.Cetakan 1990.halaman.35

(10*) Toumbulusche Pantheon.DR.J.G.F.Riedel.Berlin.1894.halaman.7

(11*) De Watu Rerumeran ne Empung Dr.J.G.F.Riedel.1897.190

Kemudian ada dewa alat musik gong bernama KOLANTUNG (Antung = Gong besar) namanya tidak terdapat dalam daftar dewa-dewi tulisan DR.J.G.F.Riedel, kemungkinan masa hidupnya setelah abad ketujuh.

Kolintang Kayu.

Alat musik pukul (Diophone) Kolintang Minahasa sekarang ini berbentuk xylophone kayu dengan tangga nada diatonis (do – re – mi – fa – so – la – si – do ).

Karena alat musik kolintang Minahsa sekarang ini terbuat dari kayu dan bukan dari bahan logam seperti jaman tempo dulu, maka kita perlu meneliti alat musik pukul (Diaphone) Minahasa dari bahan kayu atau bambu.

Bahan data sudah sangat sulit ditemukan, hingga harus kembali meneliti semua alat bunyi-bunyian Minahasa yang terbuat dari kayu atau bambu seperti TETENGKOREN berbagai jenis dan TENGTENGEN. Xylophone bambu yang disebut TENGTENGEN (12*) adalah satu-satunya alat musik purba Minahasa yang masih ada dan pernah dilihat oleh penulis di Tomohon tahun 1956.

Hasil penelitian alat musik Xylophone bambu dan kayu Minahasa tertulis dalam kertas berjudul perkembangan Instrumen musik kolintang pada pusat latihan kesenian Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, proyek peningkatan mutu, pelatih seni budaya tahun 1991. BAB.Kolintang Tritonis. Dalam bentuk ceramah pada workshop pelatih musik kolintang se-DKI.1991.

Dalam makalah ini saya perbaiki lagi karena pengertian KOLINTANG TRITONIS adalah musik gong, seharusnya TENGTENGEN TRITONIS yang terdiri dari tiga potong bambu bernada do (1), re (2), mi (3) diletakkan diatas dua batang pisang yang diletakkan sejajar lalu diketuk-ketuk dengan sepotong kayu. Dinamakan musik kobong (kebun) karena hanya dimainkan dikebun oleh petani ketika istirahat makan siang sekitar jam 11.00

(12*) Kamus Tombulu – Minahasa .H.M.Taulu.1971

Not dimankan sebagai berikut

Irama 4/4 3 / 33 33 3 01 / 22 31 2 03 / 1 . 1 1 /

/ 22 22 2 0 / 0 dimainkan berulang-ulang

Tapi apabila dimainkan oleh tiga orang, maka alat musik itu ada tiga buah dengan d nada berbeda, alat musik pertama disebut INA’ (ibu) mengambil alihfungsi melodi, alat kedua disebut KARUA dan alat ketika disebut KATELU atau LOWAY.

Kemungkinan besar not Tritonis asli Minahasa purba adalah : Do (1), re (3), mi (3) dan nada tritonis : mi (3), sol (5), la (6) adalah pengaruh nada kolintang gong. Asal nama – nama INA’ (Ibu), KARUA dan LOWAY ( bayi lelaki) kemungkinan besar dari nama – nama ukuran TETENGKOREN, yang kecil disebut ’INA, yang sedang disebut KARUA atau AMA’ (ayah) yang besar disebut LOWAY (anak) berhubungan erat dengan nama – nama leluhur pertama Minahasa LUMIMUUT (ibu) dan TOAR (anak, sekaligus suami). Menurut para supranatural lobang tetengkoren itu simbol kemaluan wanita. Mengapa Ibu itu utama dan lebih kecil dari anak, para supranatural menjelaskan menjelaskan menurut logika mereka, Lipan (kakisaribu) besar dinamakan KARAMKAN dengan sebutan ”Salina ni Karema” (selimut dewi karema) dan binatang kecil yang dinamakan ”Anjing Tanah” yang besarnya seperempat dari Lipan(kakisaribu) mendapat sebutan ”Ina’ni Kama” (Ibu dari kakisaribu).

Susunan lengkap alat musik ”Orkes Kobong” TENGTENGEN. Lagu yang dimainkan oleh TENGTENGEN – INA’ yang berirama walz sering di ikuti oleh beberapa wanita tua peserta mapalus menari :

¾ Walz pengaruh Spanyol.

5 / 6 6 5 / 3 3 5 / 6 6 5 / 3 3 3 / 3 3 3 /

/ 5 3 3 / berulang – ulang

Keberadaan musik TENGTENGEN – KAYU dari bahan kayu ” Wu’nut ” hanya tinggal nama disebut ”Kolintang wu’nut” bertangga nada Penthatonia (liam nada) dari bilah – bilah kayu. Ada informasi bahwa ”musik Kobong ” terbuat dari kayu pernah dimainkan oleh orang-orang tomohon yang menyingkir ke gunung Tampusu, dan penduduk Airmadidi yang menyingkir ke kaki Gunung Kalabat ketika Jepang masuk ke Minahasa tahun 1942 – 1943 jaman perang dunia ke – II.

Hingga sekarang ini Xylophone kayu TENGTENGEN masih dimainkan para petani dikebun ladang atau sawah di wilayah Tonsea Minahasa Utara. Jantje Dungus menjelaskan bahwa potongan kayu bilah-bilah nadadisebut PAMENGKELAN dan nama sepotong kayu sebagai alat pemukul di sebut TE-TENGTENG (*13)

Nama alat musik Xylaphone kayu bertangga nada Penthatonis Minahasa tidak lagi diketahui, hanya disebut ” Kolintang Wu’nut”, di Jakarta dinamakan GAMBANG bertangga nada penthatonis : do (1), re (2), mi (3), sol (5), la (6) seperti lagu Gambang Kromong Benyamin.S. berjudul ”Ondel-Ondel” di Filipina disebut GABBANG.

Tangga nada penthatonis Minahasa hanya dapat ditelusuri melalui penelitian lagu-lagu tua Minahasa yang bertangga nada penthatonis OWEY dan Penthatonis ROYOR. Ada kebingungan untuk menentukan mana yang OWEY dan man yag ROYOR, tapi dengan bantuan seorang pakar tari maengket Bapak Titus Loho dapat ditentukan bahwa Penthatonis ROYOR bertangga nada : do (1), re (2), mi (3), sol (5), la (6) pengaruh tangga nada kolintang gong, dan tangga nada Penthatonis OWEY : mi (3), sol (5), la (6), si (7), do (1). Dapat dipastikan ada dua jenis ” Kolintang Wu’nut ” (Kolintang kayu) yang dimainkan pada upacara yang berbeda, tari ” Kumoyak” oleh kabasaran menggunakan Tangga nada Penthatonis ROYOR :

(13) Jantje Dungus, Suwaan Tonsea. 28 mei 2007

Kolintang Band.

Sekitar tahun 1940 orkes musik ”Hawaian Band” diMinahasa mulai memudar, karena orkes musik ini menggunakan alat musik HAWAIEN yang menggunakan spul magnetik seperti gitar listrik sekarang ini. Sebelumnya orang Minahasa dapat membuatnya dengan mengambil spul magnetik gagang telepon rusak, yang kemudian sudah sangat sulit ditemukan. Susunan alat musik orkes hawaien band adalah sebagai berikut :

KOLINTANG BAND

Bentuk ”Kolintang Band” pertama muncul diwilayah tonsea Minahasa sekitar tahun 1940-an, menurut Bapak Alfred Sundah (1990) para pemusik kolintang Band Tonsea masih malu-malu karena menggunakan alat musik melodi dari kayu buatan mereka sendiri. Tapi NELWAN KATUUK tidak peduli bahkan menikmati orkes musik yang baru ini justru karena dia Tuna Netra.

Yang menamakan Xylophone kayu dengan sebutan KOLINTANG bukanlah NELWAN KATUUK tetapi masyarakat Tonsea, hingga muncul dua istilah yakni kolintang kayu dan kolintang tembaga (Gong).

Dengan komposisi peralatan musik seperti inilah jenis musik kolintang band menjadi terkenal di masyarakat Minahasa, Xylaphone kayu buatan sendiri, lagu cipataan sendiri dan aransemen lagu dibuat sendiri, kreasi musik tidak tergantung pada siapapun.

Lahirnya musik kolintang band tidak telepas dari karya musik Nelwan Katuuk yang membuat alat musing Xylophone kayu bertangga nada diatonis yang akhirnya menjadi terkenal diseluruh Minahasa.

Nelwan Katuuk lahir pada tanggal 30 maret 1920, pada usia 12 tahun telah menjadi pemukul kolintang perunggu (Gong) untuk memanggil para pekerja Mapalus. Dia menggunakan nada (14*)

/ 11 55 3 5 / 11 55 3 5 /

Pada usia 20 tahun Nelwan sudah dapat memainkan biola dan alat musik Hawaien, tapi kedua alat musik itu sudah sangat sulit ditemukan di Minahasa. Lalu seseorang bernama William Punu membuat alat musik Xylophone kayu (Tetengen) bertangga nada diatonis untuk dimainkan sebagai melodi menggantikan Hawaien (15*).

Tahun 1943 setelah Jepang mendarat di Minahasa pada perang dunia ke-II, seorang Jepang memberikan alat musik Hawaien, sehingga Nelwan Katuuk menggunakan tiga alat musik sebagai melodi dalam pertunjukan musiknya. Xylaphone dari kayu Wanderan yang kemudian disebut kolintang kayu, biola dan hawaien, kelompok musiknya dinamakan ”NASIB” denga anggota: (16*)

Nelwan Katuuk : Melodi merangkap Penyanyi

Daniel Katuuk : Gitar akustik

Budiman : String bass

Lontoh Katuuk : Jukulele

Tahun 1945 menciptakan lagu instrumentalia diberi judul ”Mars New Ginea” mendapat ilham dari kekalahan Jepang di Papua (Irian) oleh sekutu (Amerika-Autralia), pada tahun 1957 lagu ini sering didengarkan di radio Australia dengan nama ”Cipson”.

Kelompok musik kolintang band lainnya yang terkenal dimasyarakat Minahasa pada peride itu bernama ”Tumompo Tulen” :

Leser Putong : Melodi

Bibi Putong : String Bass

Wakkari Tuera : Gitar akustik

Usop : Jukulele

Doortje Rotty : Penyanyi

Kolintang band ini dan lainnya tidak menciptakan lagu dan hanya mengisi acara hiburan musik, hingga karya musiknya tidak menembus jaman menuju keabadian seperti karya musik dan lagu Nelwan Katuuk.

Sekitar tahun 1950-an kolintang band mendapat sebutan nama lain yakni orkes kolintang, tapi dalam penampilannya lebih populer disebut ”Kolintang Engkel” Karena hanya menggunakan satu alat kolintang kayu berfungsi sebagai melodi (17*)

(14*) Rachel Katuuk, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)

(15*) Jantje Dungus, Suwaan Tonsea 28 Mei 2007. (Wawancara)

(16*) Rachel Katuuk, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)

(17*) Jantje Dungus, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)

Orkes kolintang kemudian mulai berkembang sampai keluar Minahasa. Antara lain di Bandung bernama kolintang ”Maesa Bandung” tahun 1959 pimpinan Hannes Undap. Melodi : Nico Koroh

Gitar Akustik : Reni Mailangkai

Jorry Mowilos

Jukulele : Ferdie Lontoh

Ben Makalew

String Bass : Jessy Wenas

Penyanyi : Elly Doodoh

Winter Sisters

Karena alat musik kolintang yang dipesan dari Manado tidak punya kaki, maka dalam pertunjukan pentas kolintang diletakkan pada dua buah kursi

Orkes Kolintang

Walaupun sudah berganti nama orkes kolintang periode 1950 – 1964, tetapi penampilannya masih mirip kolintang band, dan sudah mulai menggunakan nada ½ (setengah) : di – ri – fi – sel – le .

Para pemain melodi kolintang kayu pada periode ini antara lain (18*) :

  1. Janjte Dungus (Suwaan – Tonsea) Kolintang ” Karpilo”
  2. Josep Iwi Sundah (Lembean)
  3. Gustaaf Warouw (Tomohon) Kolintang ”Rayuan Masa”
  4. Bert Rako (Kakaskasen – Tomohon)
  5. Worang Ransun (Maumbi – Tonsea )